Sunil Neupane
Asia Calling/Kathmandu
4/02/2013
Di Nepal, anak-anak dengan HIV
positif kerap tidak bisa bersekolah. Sekolah terlalu takut untuk menerima
mereka karena stigma dan informasi yang keliru seputar HIV/AIDS.
Sekolah swasta Saphalta HIV
Shiksya Sadan mengisi kekosongan, memberikan pendidikan bagi bagi anak-anak
ODHA.
Kegiatan rutin pagi di tempat
penampungan dan sekolah bagi anak-anak dengan HIV/AIDS yakni setelah sarapan di
ruang makan, mereka minum obat anti-retro viral mereka.
Anak-anak lain asyik bermain tapi
Urmila Aryal, 9 tahun, tak ingin bergabung. Tadi malam dia bertemu ibunya dalam mimpi...
jadi dia ingin menulis surat untuknya. Ibunya tinggal di luar ibukota
Kathmandu, jaraknya sekitar 600 kilometer. Ia hanya bertemu ibunya setahun
sekali.
“Ayah saya dulu bekerja di New
Delhi. Saat ia pulang, ia menularkan virus HIV pada ibu saya. Setelah itu dia
hamil dan kami berdua tertular HIV,” ujar Urmila.
“Waktu itu saya mau minum obat
ARV tapi saat teman saya tanya, saya bilang itu obat sakit kepala. Saya tahu
kalau ketahuan, saya bisa diusir dari sekolah. Sejak itu saya harus berbohong
kepada teman-teman saya. Tapi satu hari saya dipanggil kepala sekolah. Dia
bilang saya tidak usah datang lagi ke sekolah karena saya punya HIV.”
Sejak itu Urmila tak mendapat
kesempatan bersekolah.
Saat Rajkumar Pun dan Uma Gurung
membaca kisah Urmila di surat kabar lokal, mereka membujuknya untuk datang dan
tinggal di tempat penampungan yang sekaligus sekolah mereka. Sepuluh anak
tinggal di tempat penampungan itu - mulai usia 3 hingga 10 tahun.
Dattaram Rai sedang sibuk
mengajar murid-murid di dalam kelas. Ia meninggalkan pekerjaan lamanya untuk
menjadi relawan guru di sekolah ini.
”Saya dulu bekerja di sebuah
kantor. Saat saya dengar soal sekolah ini, saya datang kemari dan saya sangat
terkesan. Ini adalah pekerjaan terbaik... mengajar anak-anak yang
didiskriminasi oleh masyarakat kita. Uang bukanlah yang utama dalam hidup. Saya
sangat senang dengan pekerjaan ini.”
Ini sekolah pertama untuk
anak-anak dengan HIV positif di Nepal.
“Semua sekolah tidak mau menerima anak-anak kami. Mereka
mengaku akan merugi kalau menerima anak-anak dengan HIV positif di sekolahnya.
Bahkan sekolah negeri juga menolak mereka,” tutur Rajkumar Pun, pendiri sekaligus
kepala sekolah ini.
Untuk membiayai sekolah ini,
Rajkumar menjual rumahnya dengan harga sekitar 340 juta rupiah.
Mereka harus membayar sewa rumah
yang mereka tinggali saat ini sekitar 2 juta rupiah per bulan. Ia khawatir dengan masa depan mereka.
“Jika kami harus pergi dari rumah ini, akan
sangat sulit menemukan rumah baru bagi anak-anak kami. Tidak ada yang mau
menyewakan rumahnya pada kami kalau tahu mereka adalah anak-anak dengan HIV.
Diantara anak-anak ini ada yang diusir dari sekolah dan beberapa diusir
keluarganya. Jadi ini sangat sulit bagi kami,” ujar pria berusia 28 tahun ini.
Sementara itu, kehidupan Manju
Chand, 10 tahun, juga sangat berat.
“Setelah kematian kedua orangtua saya, tante
membawa saya ke rumahnya. Penduduk desa kerap melarang anaknya main dengan saya
dan bilang saya punya HIV. Sakit hati saya mendengar hal ini dan saya jadi sering
menangis. Tante memang merawat saya tapi sebenarnya ia membenci saya. Saya tahu
dari sikapnya pada saya.”
Kakak perempuannya yang tinggal
dekat sekolah juga tidak pernah mengunjunginya.
“Dia tidak ada artinya bagi saya
karena dia tidak mencintai saya. Tahun lalu dia janji mau datang tapi dia tidak
pernah datang. Kerabat lain juga membenci saya tapi saya tidak peduli. Kami
punya Bapak Rajkumar dan Ibu Uma. Mereka memberi kami makan, rumah dan
pendidikan. Merekalah orang tua kami. Saya akan mengikuti langkah mereka di
masa depan.”
Setelah sekolah, Urmila memimpin
anak-anak untuk menari. Ia suka menari dan ingin jadi penari terkenal kalau
besar nanti.
No comments:
Post a Comment