Mengintip Desa PRT
Cina
(Lam Li, Asia Calling/Beijing)
Selamat datang di desa Dong Xin Dian, yang oleh warga
setempat dikenal sebagai ‘Desa Pengasuh’.
Banyak
perempuan di sini bekerja sebagai pembantu rumah tangga di bungalo-bungalo di
Distrik Shunyi yang dipenuhi dengan orang Cina kaya dan profesional asing.
Ada
satu jalan utama di desa ini. Di pinggirnya berjajar toko-toko dan pedagang
kaki lima. Jalan utama ini bercabang ke jalan-jalan tanah, menuju
bangunan-bangunan yang tidak begitu tinggi.
“Ini gaya bangunan khas di sini, bangunan
berlantai tiga yang diubah dari rumah berlantai satu. Sekarang mereka
membaginya menjadi kamar-kamar kecil,
tidak lebih dari 20 meter persegi. Setiap ruangan dihuni dua sampai empat
orang. Hanya ada segelintir orang asli Beijing di desa ini; mereka membangun
ruangan itu untuk disewakan kepada pekerja migran seperti kami,” ujar Xiou Li,
salah satu warga di sini.
Sembilan
puluh persen penduduk di sini adalah pekerja migran dari pedesaan Cina. Perpindahan
besar-besaran dari desa ke kota menyebabkan pesatnya urbanisasi.
Tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejara di Cina jumlah
penduduk kota melampaui penduduk desa. Sepertiga petani di desa telah pindah ke
berbagai kota untuk mencari kesempatan kerja yang lebih baik.
Banyak
migran dari desa tinggal di pinggiran kota yang disebut 'desa-di-kota' – tidak
beraturan, ada di pinggiran dan dihuni pekerja yang tak terhitung
jumlahnya.
Penduduk di sini disebut 'semi-urban', dan
mereka tidak menikmati kesejahteraan sosial yang sama seperti warga yang lahir
di kota.
Setelah bekerja seharian mencuci pakaian orang lain dan
mengasuh anak, Jin Jie, 47 tahun,
memasak untuk keluarganya. Dapur daruratnya berada di koridor yang digunakan
bersama penghuni lain.
Makan
malam hari ini terdiri dari tumis kepala ikan dan siap saat suaminya pulang
dari lokasi konstruksi dan anak perempuannya selesai bekerja di sebuah mal.
Jin Jie
datang yang berasal dari Provinsi Anhui, telah empat kali pindah rumah beberapa
tahun terakhir ini.
“Sekali rumah kami dibongkar atau
dipindahkan karena pembangunan. Sangat sulit mencari tempat dengan angkutan
umum yang nyaman dan sewa yang terjangkau. Dalam beberapa tahun terakhir, tiga
dari lima desa di wilayah ini telah dibongkar. Dong Xin Dian, salah satu yang
terakhir yang masih bertahan. Tapi sewanya naik. Ketika pertama pindah ke sini,
sewanya sekitar Rp 430 ribu, lalu Rp 500 ribu dan sekarang lebih dari Rp 550
ribu. Tiga kali naik selama kurang dari dua tahun.”
Jin mengatakan pemilik tanah yang
membangun tempat yang disewanya ini, sedang mencari tempat untuk pindah.
“Di tempat kami yang dulu, pemiliknya terus
memperluas bangunannya. Ia membangun gedung di setiap tempat yang tersisa, dan
membuat sebanyak mungkin kamar. Ketika dibongkar dan direlokasi, kompensasi
resmi dihitung berdasarkan tempat yang dibangun dan pemilik tanah mendapat
ganti rugi relokasi dan perumahan. Kini pembangunan juga pesat di Dong Xin Dian
dan bangunan melampaui batas tanah hingga ke jalanan hingga jadi lebih luas.”
Tapi
tidak seperti pemilik tanah, penyewa migran seperti Jin tidak menerima
kompensasi.
Yang mesti dihadapi para pengasuh ini tak sekadar naiknya
ongkos sewa tempat tinggal.
Zhang
Min, 32 tahun, yang berasal dari Sichuan, sedang mencuci pakaian keluarganya di
malam hari, setelah ia pulang bekerja seharian di dua rumah yang berbeda. Dia
bekerja enam hari seminggu dan penghasilannya sekitar Rp 4 juta sebulan.
“Yang lain bilang, jika Anda bekerja Anda
berhak mendapatkan asuransi dan pensiun. Tapi saya tidak punya satu pun, karena
saya tidak bekerja di perusahaan, saya bekerja untuk rumah tangga.”
Zhang
rindu pada anak lelakinya yang tetap tinggal di kampung, dengan biaya hidup dan
sekolah lebih murah.
“Anak lelaki saya berusia 8 tahun. Jika saya
membawanya ke Beijing, saya tak punya sisa uang lagi. Dia datang kemari untuk
liburan musim panas tahun lalu, dan pengeluaran kami meningkat tajam. Untuk
mengirim dia pulang, kami terpaksa pinjam uang dari teman saya.”
Beijing
dihuni 20 juta jiwa dan hampir 40 persen penduduknya adalah migran. Banyak dari
pekerja yang tidak punya kemampuan ini digambarkan sebagai orang 'semi kota'.
Du
Yang, seorang peneliti di Institut Kependudukan dan Ekonomi Buruh, di Akademi
Ilmu Pengetahuan Cina, salah satu pemikir utama Cina, mengatakan: “Dalam
istilah statistik, kita menganggap orang yang hidup di perkotaan selama lebih
dari enam bulan sebagai orang kota. Tapi banyak masyarakat desa yang pindah ke
kota, karena keberadaan sistem hukou, mereka tidak menikmati keuntungan dari
kesejahteraan sosial seperti masyarakat yang berstatus orang kota.”.
Hukou
adalah sistem izin tinggal yang dibuat pada masa ekonomi yang direncanakan
secara terpusat di Cina.
Sistem
itu membagi masyarakat dalam dua kategori berdasarkan tempat lahir – penduduk
desa atau kota. Ketika seseorang pindah keluar dari kategorinya, dia kehilangan
akses pelayanan publik seperti pendidikan, perawatan medis, perumahan dan
pensiun.
“Kami harap di masa depan, hukou tidak terlalu
berhubungan dengan hak untuk mendapatkan kesejahteraan. Negara harus
menyediakan sistem kesejahteraan sosial yang luas dan tidak diskriminasi. Ini
bisa diminimalkan tapi harus mencakup sebanyak mungkin orang,” tutur Du.
Akhir
tahun lalu, pemerintah Cina mengeluarkan sebuah kebijakan soal tugas
pembangunan kependudukan bagi pejabat pemerintah. Kebijakan itu menyebutkan kalau
kota yang lebih kecil bisa melonggarkan hukou, sehingga orang desa yang
'memenuhi syarat' bisa mendapatkan status orang kota.
Tapi
kota yang lebih besar masih perlu menjaga pertumbuhan populasi agar turun
sampai tingkat yang dianggap 'wajar'. Pemerintah juga menargetkan perbaikan
kondisi hidup pekerja migran dan mendorong pemerintah daerah untuk membangun
perumahan murah bagi kandidat yang 'memenuhi syarat'. Tapi tidak disebutkan apa
yang harus dilakukan untuk dianggap 'memenuhi syarat'.
***
Keluarga Jin Jie berkumpul di
sekitar televisi setelah makan malam. Ia telah bekerja di Beijing selama 11
tahun. Tapi menurut pendaftaran hukou resminya, ia adalah petani yang tinggal
di pedesaan.
“Orang seperti saya tidak punya kesempataan
untuk mengubah hukou saya kecuali saya punya uang untuk membeli rumah di sini.”
Memiliki rumah hanyalah mimpi
bagi Jin Jie. Ia bahkan tidak bisa mengatasi harga sewa rumah di kota yang
terus meningkat.
Artikel
ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan
Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia
Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita
lainnya dari Asia Calling di www.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di BAFP RADIO STREAMING
setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB
No comments:
Post a Comment