Hong Kong Larang
‘Wisata Melahirkan’
(Banyal
Kong Janoi, Asia Calling/Hong
Kong)
Yang Hai Yan, 27 tahun, sedang
hamil delapan bulan dan sampai saat ini ia belum mendapatkan kamar di rumah
sakit untuk melahirkan.
“Kami gelisah sekali... kami
tidak tahu dimana kami harus pergi untuk melahirkan bayi-bayi kami,” ujar Yang.
Yang berdiri di antara para
perempuan hamil dalam sebuah demonstrasi. Mereka turun ke jalanan dan berteriak “Para ibu butuh tempat tidur,
bayi-bayi harus dilahirkan”.
Perempuan-perempuan
ini berasal Cina daratan yang bersuamikan warga Hong Kong – dan dengan adanya pengurangan
kuota tahun ini berarti mereka tidak mendapatkan tempat untuk melahirkan di
rumah sakit.
Mereka
menuntut pemerintah untuk mengkaji ulang pembatasan jumlah ibu asal Cina daratan yang boleh melahirkan di Hong Kong.
Awal
bulan ini, pemerintah Hong Kong menurunkan kuota untuk para perempuan Cina daratan yang bisa
mendapatkan perawatan melahirkan.
Tahun
ini kuotanya mencapai 35 juta ibu, di rumah sakit umum dan swasta – ini 7
persen lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Tujuh ribu kamar di rumah sakit
swasta dialokasikan bagi mereka.
Hampir
88 ribu bayi dilahirkan di Hong Kong pada 2010, dan hampir separuhnya
dilahirkan oleh para perempuan asal Cina daratan.
Warga
Hong Kong menyebutnya sebagai “wisata melahiran” – ibu hamil dari Cina daratan
datang untuk melahirkan di Hong Kong demi menghindari berbagai kebijakan di
Cina. Tapi warga Hong Kong berang – kata mereka, para perempuan itu merebut
hak-hak warga lokal.
Tahun
depan pemerintah akan melarang semua ibu dari Cina daratan yang suaminya bukan
dari Hong Kong untuk melahirkan di sini. Namun, kuota itu sekarang sudah berdampak buruk bagi para
perempuan yang sekarang tengah mencari tempat untuk melahirkan.
“Kami ingin satu solusi yang lebih baik karena
suami saya adalah warga Hong Kong. Dia membayar pajak; keluarga kami semestinya
bisa menikmati pelayanan lokal yang sama,” ujar Yang.
Sementara itu suami Yang, Chan
Chi-keung mengatakan: “Kami mengalami
diskriminasi yang sangat besar. Awalnya, isteri saya hanya boleh mendapatkan
‘visa turis’ yang akan kadaluwarsa dalam tiga bulan lagi. Artinya dia harus
kembali lagi ke Cina daratan untuk memperpanjang visanya. Selain itu, dia tidak bisa bekerja di Hong
Kong berdasarkan hukum Hong Kong yang berlaku sekarang ini. Saya satu-satunya
orang yang boleh bekerja di keluarga kami. Sekarang bayi saya tidak bisa dilahirkan di Hong Kong.
Bayangkan, hidup seperti apa yang kami jalani?”
Hong
Kong sangat menggiurkan bagi banyak warga Cinda daratan. Anak-anak yang lahir
di wilayah ini bisa mendapatkan hak tinggal di sana – artinya berhak
mendapatkan pendidikan gratis, kebebasan politik yang lebih besar, serta paspor
Hong Kong yang memungkinkan mereka lebih mudah untuk bepergian.
Selain
itu Pemerintah Hong Kong juga tidak memberlakukan kebijakan satu anak seperti
Cina – jadi para orang tua bisa punya sebanyak mungkin anak yang mereka
inginkan.
Masalah
ini sangat sensitif bagi para warga lokal – mereka menyebut arus masuknya para perempuan Cina daratan
sebagai ‘wisata melahirkan’, satu istilah yang menghina mereka. Dan mereka
terlalu memadati daerah ini – banyak rumah sakit yang sudah penuh sampai Juni
tahun ini.
Sebagian
rumah sakit swasta lebih suka memberikan kamar kepada pasangan asal Cina
daratan karena bisa menetapkan biaya yang lebih tinggi – lebih dari 82 juta
rupiah bagi setiap ibu hamil. Sementara calon ibu lokal hanya membayar sekitar
550 ribu rupiah.
Menurut
mahasiswa Hong Kong, Steffi Au, kebijakan ini prioritas yang salah dari rumah
sakit swasta.
“Saya khawatir mereka hanya
mengejar uang saja ketimbang memastikan hak-hak warga Hong Kong terpenuhi.
Karena para pasien berasal dari Cina, dan di Cina ada banyak orang kaya, khususnya
mereka dari kota-kota besar. Kalau uang yang menentukan siapa yang bisa masuk
rumah sakit bersalin, ini adalah masalah yang sangat memprihatinkan. Karena
tidak semua orang di Hong Kong adalah orang kaya. Di sini masih ada kesenjangan
kekayaan,” tutur Stefi.
Kuota
baru ini sangat didukung oleh para warga, termasuk Jini Siu.
“Menurut
saya, keadaan ini menyedihkan . Ini adalah Hong Kong dan kita harus melayani
para perempuan Hong Kong lebih dulu.
Tapi sekarang, sebagian besar sumber-sumber berlih kepada para perempuan
Cina daratan.”
Namun,
keadaan sangat rumit bagi isteri-isteri asal Cina daratan yang menikah dengan
para lelakiHong Kong.
Menurut data pemerintah, pada tahun lalu, lebih dari 6000 anak dilahirkan dalam
keluarga lintas budaya.
Kuota
yang dipaksakan pada perempuan ini tidak adil, kata Tsang Koon-Wing dari
Mainland-Hong Kong Families Rights Association.
“Para isteri Cina daratan itu, yang menikah
dengan para suami Hong Kong, mereka membangun keluarganya di Hong Kong, mereka
sudah menjadi bagian dari masyarakat Hong Kong. Jadi, mengapa pemerintah
mendiskriminasi mereka, dan tidak memberikan tempat bagi mereka?” ujar Tsang.
“ Kami
mendesak pemerintah untuk membedakan
dengan jelas. Yang partama adalah
anggota kami; isteri Cina daratan dengan suami Hong Kong. Dan yang lain adalah
keduanya, baik suami dan isteri, yang datang dari Cina daratan. Lalu, rumah
sakit umum yang melayani para ibu lokal
harus juga membantu semua kelaurga Hong Kong. Kami tahu berbagai rumah sakit
umum punya uang yang cukup untuk melakukannya. ”
Sementara
itu, Lin Yu Jing, yang sedang hamil 5 bulan anak pertamanya ini sudah coba
memesan kamar di rumah sakit, tapi belum berhasil.
“Kalau kami tidak bisa dapat
tempat di rumah sakit di Hong Kong, saya harus kembali lagi ke Cina daratan
untuk melahirkan. Ini akan sangat sulit
bagi kami, dan untuk pendidikan bayi kami.
Anak saya tidak akan bisa mendapatkan izin menetap di Hong Kong.
Keluarga kami akan terpisah. Saya tidak berani membayangkan masa depan kami
nantinya,” ujar perempuan berusia 25 tahun ini.
Tekanan
publik memksa pemerintah untuk melakukan perubahan untuk tahun depan. Ketika
kuota diturunkan hingga nol pada tahun 2013, larangan itu berlaku untuk para
perempuan Cina daratan yang suaminya bukan orang Hong Kong.
Tapi
tanpa solusi lainnya, ini bakal terlalu terlambat bagi para pendemo ini ---
anak-anak mereka tak bisa menunggu.
Artikel
ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan
Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia
Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita
lainnya dari Asia Calling di www.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di BAFP RADIO STREAMING
setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB
No comments:
Post a Comment