Wednesday, March 21, 2012

Diskriminasi terhadap anak hasil kawin campur di Korea Selatan


Diskriminasi terhadap anak hasil kawin campur di Korea Selatan
Jason Strother (Asia Calling/Seoul, Korea Selatan)

Enkhjagal Khishigbaatar  baru pulang kerja, dan kedua anak laki-lakinya sudah siap untuk bermain.
Khishigbaatar  berasal dari Mongolia, tapi kedua anak laki-lakinya yang berusia tiga dan lima tahun ini, dilahirkan di sini. Mereka semua tinggal bersama mertua Korea. 
Nama mereka adalah nama Korea, dan mereka tidak lancar berbicara dalam bahasa Mongolia.  Namun ia berharap,  mereka tidak akan melupakan akar dari budayanya.
            “Saya selalu mengingatkan anak-anak laki-laki saya kalau mereka juga orang Mongolia, kalau saya ini berasal dari sana, dan mereka semestinya bangga menjadi orangMongolia,
            Ada semakin banyak keluarga dengan budaya campuran di Korea Selatan, mereka disebut sebagai keluarga multi-etnis di sini.
            Selama sepuluh tahun belakangan, ratusan ribu orang Korea – sebagian besar adalah laki-laki - menikah dengan pasangan yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara, Cina dan negara Asia lainnya.  Alhasil, jumlah anak yang dilahirkan para pasangan berbeda budaya ini pun meningkat.
            Namun banyak di antara anak-anak ini mengalami diskriminasi di sekolah – sepertiga di antara mereka yang mendapatkan pendidikan bahkan kehilangan kesempatan untuk meraih masa depan.
            Banyak orang muda Korea yang menggencet teman-teman sekelas yang berasal dari latar belakang yang berbeda, kata Kim Heekyung , dari LSM Save the Children.
            Ia menuturkan, mereka diejek karena penampilan atau cara bicara mereka yang berbeda.
            Kim menambahkan, anak-anak  Korea paling mengganggu anak-anak  yang orangtuanya berasal dari Asia Tenggara – berbekal prasangka sosial yang mereka dapatkan dari orangtua mereka.
            “Anak-anak dari Asia Tenggara kurang pintar dibandingkan mereka. Atau mereka itu miskin, itulah masalah yang paling besar. Ekonomi negara-negara Asia Tenggara kurang maju dibandinkan Korea. Jadi itu sebabnya anak-anak itu lebih rendah ketimbang mereka.”
            Kim mengatakan, bahkan kata “multi-budaya” kini mendapatkan konotasi yang negatif.
            Meski memisahkan mereka dalam sekolah sendiri kemungkinan bisa membantu meningkatkan pendidikannya, tapi ini tidak akan mengurangi  prasangka yang kerap terjadi.
            Ia menegaskan para pelajar Korea harus belajar bahwa diskriminasi itu tidak baik.
            Tahun lalu, LSM Save The Children meluncurkan program percontohan di beberapa sekolah dasar Seoul.
            Para pelajar disuruh memainkan beberapa peran -- mereka diminta berpura-pura menjadi anak dari keluarga multi-budaya.
            Cha Eun-seo, 9 tahun, menceritakan apa yang ia sudah pelajari.
            “Saya tidak boleh mengejek anak-anak yang orangtuanya yang berasal dari negara-negara lain.”
            Cha dan beberapa teman sekelasnya mengaku sudah berteman dengan seorang anak laki-laki dari keluarga multi-budaya. Dan mereka membantu mengajarkan dia bahasa Korea.
            Korea merupakan salah satu negara dengan tingkat kelahiran anak paling rendah di dunia, dan ini menjadi satu tantangan bagi pembangunan masa depan negeri itu.
            Menurut Dr. Hong Inpyo, kepala Klinik Keluarga Multi-Etnis di Seoul,  jumlah anak-anak dengan salah satu orangtua non-Korea semakin cepat meningkat,  dibandingkan anak-anak yang kedua orangtuanya kelahiran Korea.
            “Para keluarga multi-budaya benar-benar membantu menaikkan tingkat kelahiran. Pada 2050, jumlah mereka akan mencapai 10 persen dari seluruh penduduk. Anak-anak ini bakal menjadi generasi berikut bangsa ini.”
            Ini berarti, masyarakat Korea sedang mengalami berbagai perubahan yang sangat besar, dan pemerintah harus menanggapi perubahan itu.
            Klinik Keluarga multi-etnis adalah salah satu bentuknya. Klinik ini memberikan perawatan medis dan jasa penerjemah supaya para keluarga bisa mendapatkan perawatan, terlepas dari bahasa apa yang mereka gunakan.
            Bukan itu saja. Sebagai bagian dari kebijakannya yang baru,  pemerintah  juga mengubah isi buku pelajaran, mulai menggambarkan masyarakat Korea sebagai masyarakat yang ‘multi-etnis dan multi-budaya’.
            Awal bulan ini, pemerintah membuka sekolah umum untuk anak-anak multi-budaya untuk kali pertama di Seoul.
            Saat ini anak-anak tengah belajar bahasa Korea sebagai bahasa kedua di sekolah. Secara bergantian masing-masing memperkenalkan diri.
            Sebagian memakai rompi berwarna biru bertuliskan nama sekolah, Dasom  – kata dalam bahasa Korea kuno yang berarti ‘cinta’ – disulam di bagian belakang.
            Liang Man Ni , 18 tahun adalah salah satu pelajar senior disini, pindah ke Seoul pada tahun 2009 dari Cina, bersama ibunya yang kelahiran Korea dan sang ayah yang berasal dari Cina.
            “Saya senang sekali di sekolah ini, dan saya senang karena sudah punya teman-teman dari Jepang,  Hong Kong dan Vietnam. “
            Sejauh ini Dasom memiliki 48 pelajar seperti Liang, yang dibesarkan di luar negeri.
            Tapi sebentar lagi, para pengurus sekolah mengatakan  akan ada banyak anak-anak yang sepenuhnya dibesarkan di Korea.
            Ini sangat penting dilakukan mengingat banyak anak dari keluarga multi-budaya yang sama sekali tidak sekolah.
            Dalam satu survei baru-baru ini, 31 persen anak-anak Korea yang punya satu orangtua kelahiran non-Korea, tinggal di rumah. Artinya, mereka tidak belajar bicara dalam bahasa Korea dengan mahir.
            Dan ini membuat pemerintah Korea Selatan khawatir, kata Chung Chin-sung , sosiolog yang tergabung dalam panelis presiden yang merekomendasikan pembentukan sekolah Dasom.
            Chung menuturkan, ia tidak ingin melihat anak-anak ini dilupakan, meski mereka harus dididik secara terpisah sekali pun.
            “Pada prinsipnya, anak-anak yang berasal dari berbagai latar belakang  berbeda ini harus disatukan dengan para pelajar biasa, tapi ada anak-anak yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan baik di dalam sekolah biasa. Tanpa bantuan apapun, mereka tidak bisa disiapkan untuk masuk masyarakat biasa. Menurut saya, sekolah ini setidaknya bisa menjadi pilihan terakhir bagi anak-anak itu.”
            Chung bercerita, diskriminasi menyulitkan hidup anak-anak multi-budaya di berbagai sekolah Korea dan di tengah masyarakat.
            Enkhjagal Khishigbaatar perempuan kelahiran Mongolia dengan dua anak yang masih kecil bercerita, teman-temannya sudah memperingatkan dia kalau anak-anaknya bisa mendapatkan berbagai prasangka ketika mereka tumbuh besar.
            Tapi kata dia, sejauh ini tak ada masalah apa pun. Dia tak khawatir dengan diskriminasi di sini.
            “Yang saya lebih khawatir adalah sejak anak-anak saya dibesarkan di sini dan sekolah bersama orang Korea, mereka akan mengalami  gegar budaya kalau mereka berkunjung ke Mongolia. Mereka bakal diperlakukan sebagai orang asing di sana.”
            Ia berharap, kedua anak laki-lakinya akan tumbuh besar dan merasa sama seperti orang Mongolia dan sekaligus orang Korea. Memiliki identitas satu budaya adalah kebanggan bagi banyak warga Korea Selatan.
             
            Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB

No comments:

Post a Comment