Sunday, September 23, 2012

Sekolah Mata-mata di Korea Selatan

Sekolah Mata-mata di Korea Selatan

Jason Strother


Asia Calling/Seoul

Ji  Soo-hyun melakoni kehidupan ganda.
Sejak enam bulan lalu, ibu rumah tangga itu memulai karirnya untuk menangkap basah para pelanggar hukum. Keahlian perempuan berusia 54 tahun ini  menyamar di sekolah bimbingan belajar swasta.
 “Saya pura-pura mendaftarkan anak-anak saya di sekolah itu. Saya bertanya soal layanan tambahan. Ada banyak kegiatan ilegal di sekolah-sekolah ini seperti buka sampai larut dan mengenakan biaya tambahan. Jenis pelanggaran seperti ini yang saya rekam.”
Saat Ji sedang beraksi, ia menggunakan sebuah kamera kecil yang disembunyikan di dalam tasnya.
Ji satu dari sekian ratus warga yang telah dilatih untuk merekam video secara sembunyi-sembunyi orang yang melanggar hukum.
Seorang mata-mata menunjukkan ia merekam kasir sebuah apotek yang tidak mengenakan biaya pada kantong plastik seperti ketentuan di Korea Selatan. Juru rekam ini seperti halnya Ji Soo-hyun, adalah pelajar di sekolah paparazi Seoul.
Di sekolah itu mereka belajar cara merekam gambar secara sembunyi-sembunyi. Mereka memakai kamera yang sangat kecil, yang disamarkan sebagai perhiasan. Dan mereka diajarkan aktivitas ilegal mana yang paling bisa menghasilkan uang jika dilaporkan kepada pihak berwajib.
Moon Seong-ok mengelola akademi paparazi ini selama 14 tahun. Ia membantu para muridnya mencari pembeli video-video itu.
”Semua pelajar yang datang kemari mau mencari uang. Saya menghubungkan mereka dengan kepolisian, pemerintah daerah, departemen kesehatan serta pendidikan yang membayar mereka.”
Moon mengklaim paparazi warga menghasilkan  190 juta hingga 285 juta rupiah per tahun. Tapi beberapa warga lain prihatin uang itu mengubah tetangga menjadi mata-mata.
Koo Ja-kyoung menggambarkan dirinya sebagai orang biasa yang khawatir dengan apa yang dilakukan murid-murid paparazi di komunitasnya.
“Satu hari saya sedang jalan-jalan dan melihat seorang perempuan tua sedang menangis. Saya tanya padanya apa yang terjadi. Dia bilang ia kena denda karena memasukkan sampah dalam platik yang tidak sesuai aturan. Ia bilang paparazi warga mengambil gambarnya dan menyerahkannya ke polisi.”
Koo kecewa dengan kisah perempuan itu dan mengajukan laporan ke komisi nasional hak asasi manusia.
Itu terjadi beberapa tahun lalu. Menurut komisi itu, sampai sekarang Koo lah satu-satunya orang yang mengeluh soal kehadiran mata-mata warga. Komisi belum memutuskan apakah akan menyidangkan kasus itu atau tidak.
Beberapa pengamat mengatakan bukannya orang Korea Selatan tidak peduli dengan dugaan mata-mata ini. Hanya saja mereka takut menyuarakannya.
Sosiolog dari Universitas Sogang Seoul, Chun Sang-chin, mengatakan sebagian besar warga tidak suka dengan apa yang dilakukan paparazi.
 “Ada semacam sensitivitas budaya di sini. Masyarakat khawatir kalau mereka maju dan mengeluhkan masalah ini, orang lain akan berpikir kalau mereka melakukan sesuatu yang salah atau ilegal. Mereka ingin orang lain berpikir apa yang mereka lakukan secara pribadi ataupun di depan masyarakat, adalah sesuatu yang baik. Makanya mereka diam saja.”
Chin mengatakan dalam konteks budaya Korea, akan sulit memulai perdebatan publik soal paparazi warga.
Kata dia, pemerintah seharusnya berhenti membayar video-video itu sehingga para paparazi tidak lagi termotivasi membuat video secara sembunyi-sembunyi.
Namun Moon Seong-ok mengatakan ia tidak merasa malu atas apa yang ia dan muridnya lakukan.
“Warga negara yang baik mematuhi hukum seperti yang dilakukan paparazi warga. Tapi bagi orang yang melanggar hukum, merekalah yang tidak nyaman dengan apa yang siswa saya lakukan.”
Ji Soo-hyun juga sepakat dan tidak merasa bersimpati pada para pelanggar hukum.
 “Awalnya saya merasa bersalah melaporkan orang-orang ini, tapi semakin sering saya melakukannya, saya menyadari ada begitu banyak pelanggaran di sekitar kami. Mereka bukan orang miskin atau orang yang harus berjuang mempertahankan hidupnya, jadi saya tidak merasa bersalah melaporkan mereka.”
Ji mengatakan dia sekarang sedang mengarahkan kameranya pada orang-orang yang menghindar membayar pajak.
Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling diwww.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB

No comments:

Post a Comment