Sunday, September 23, 2012

Anak-Anak Juling dalam Kepercayaan Lokal India

Anak-Anak Juling dalam Kepercayaan Lokal India
Jason Strother
Asia Calling/New Delhi

Anak-anak di kawasan kumuh Katputli Colony, New Delhi membantu keluarganya dengan mengorek-ngorek sampah untuk mencari sesuatu yang bisa dijual.
                Hidup mereka berat – tapi lebih berat lagi bagi Hakim Ali, 13 tahun. “Kadang saya tiba-tiba jadi buta. Pandangan saya jadi gelap dan kabur.”
                Hakim bermata juling, kondisi mata kanan dan kiri melihat pada arah yang berbeda – tidak fokus pada satu benda yang sama. Kondisi ini bisa sementara, bisa juga berujung pada kebutaan permanen.
                Tiga tahun lalu, pekerja sosial dari rumah sakit lokal mengunjungi keluarganya dan bilang pada orangtua Hakim kalau Hakim perlu operasi untuk memperbaiki ini. Operasi pun dilakukan secara gratis.
Tapi keluarganya menolak.
                “Kami lebih memikirkan mencari uang agar bisa bertahan hidup. Tidak ada waktu untuk mengkhawatirkan hal lain,” ujar Ibunda Hakim.
                Hakim bukan satu-satu yang bermata juling dalam keluarganya – empat saudara laki-laki dan perempuannya juga mengalami hal yang sama.
                Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, 90 persen orang tunanetra dan yang mengalami gangguan penglihatan lainnya, hidup di negara berkembang. Sebagian besar ada di India, di mana komunitas orang miskin sering kekurangan akses layanan kesehatan dasar.
                Salah satu kondisi mata paling sederhana yang harus disembuhkan adalah mata juling – ini banyak dialami anak-anak India tapi tak pernah diobati.
                Selain karena tak ada cukup banyak layanan kesehatan, juga karena ada kepercayaan lokal di India.
                Manesh Kumar, Manajer Program Orbis di New Delhi, sebuah organisasi internasional yang mendukung klinik mata di seluruh dunia, mengatakan hampir empat persen anak-anak India lahir dengan mata juling, tapi banyak yang tidak diobati.
                Kemiskinan adalah salah satu alasannya. Alasan lain karena ada keyakinan yang dipegang banyak keluarga.
                “Di banyak komunitas di India dan Nepal, ada anggapan jika anak lahir dengan mata juling akan membawa keberuntungan pada keluarga. Jadi keyakinan ini yang membuat orangtua dan keluarganya tidak mau mengobati anak itu,” tutur Kumar.
                Jadi beberapa keluarga menunggu anaknya siap untuk menikah, baru mereka setuju untuk operasi. Tapi pada saat itu, bisa jadi sudah terlambat untuk memperbaiki penglihatan mereka.
                Suma Ganesh, dokter spesialis mata pediatrik di Rumah Sakit Mata Dr. Shroff’s Charity, rumah sakit mata terbaik di New Delhi, mengatakan,“Kalau mata jadi juling, kita tidak melihat gambar itu satu tapi melihatnya jadi dua gambar. Ini disebut penglihatan ganda atau diplopia.”
“ Otak tidak punya penglihatan ganda, jadi menekan salah satu gambar, dan secara normal gambar berubah jadi kabur. Jadi anak tidak hanya kehilangan penglihatan tapi juga kehilangan nilai dari visi binokular. Semuanya akan menghilang setelah beberapa waktu.”
                Menurut kepercayaan lokal, anak laki-laki yang bermata juling membawa keberuntungan.  Tapi ini tak berlaku bagi anak perempuan. Ini justru bakal mengurangi kesempatan anak perempuan untuk menikah.
                Kakak perempuan Hakim, Shabana, 25 tahun, tetap menikah walaupun matanya juling. Tapi pernikahannya tidak berlangsung lama. Iparnya sering menghina dan memukuli dia karena matanya itu.
Sekarang ia kembali ke rumah orangtuanya di kawasan kumuh bersama bayinya.
Menurut Kumar, sulit untuk meyakinkan keluarga-keluarga seperti ini untuk mengubah keyakinan mereka soal anak-anak bermata juling. Tapi kini para pekerja rumah sakit melakukan pendekatan baru.
                “Mereka meyakinkan orangtua akan dampak negatif mata juling jika tidak diobati. Mereka bilang, lihat anak yang ada di depan Anda ini, dia tidak bisa melihat sekarang. Mungkin tidak lama lagi dia akan buta, kehilangan penglihatan. Jadi sebagai ibu, apa Anda mau melihat anak Anda buta? Berjalan tanpa bantuan? Mereka mencoba memainkan emosi semacam itu. Jadi jika kami bisa membuat mereka melihat sisi positif dari pengobatan, ini sudah lebih baik.”
                Taktik itu tampaknya berhasil. Para pekerja sosial sudah bicara pada Ibrahim, paman dari Hakim Ali.
                “Saya merasa lebih positif untuk mengirimkan keponakan saya untuk berobat. Saya merasa sedih dengan kondisinya. Dia tidak bisa mengendarai sepeda atau hidup normal karena matanya,” ujar Ibrahim.
                Ibrahim bilang ia selalu mengira kondisi seperti mata juling adalah nasib yang tidak bisa diubah.
Hakim Ali mendengarkan saat pekerja sosial bicara pada keluarganya.
                Ketika ditanya bagaimana perasaannya soal operasi mata itu, Hakim menjawab: “Saya sedikit takut harus ke rumah sakit.”
Keluarga itu kini bersedia diobati, tapi para pekerja sosial mengatakan pekerjaan mereka belum selesai.  Mereka berencana datang kembali untuk memastikan keluarga itu tidak berubah pikiran.

Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling diwww.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB


No comments:

Post a Comment