Sunday, September 23, 2012

Telepon Genggam untuk Pesta di Daerah Kesukuan Pakistan

Telepon Genggam untuk Pesta di Daerah Kesukuan Pakistan

Mudassar Shah
Asia Calling/Khyber Agency, Pakistan
Di siang yang terik di musim panas ini, Rafi Ullah, 23 tahun, sedang menunggu taksi yang akan mengantarnya ke pasar Landi Kotal.
Rafi merencanakan sebuah pesta malam ini tapi sebelumnya ia mau bertemu temannya di pasar. Tanpa teman dan kartu memori di telepon genggamnya, ia tidak akan bisa membeli musik baru untuk acara ini.
“Saya guru di daerah markas milisi. Saya punya jenggot, jadi secara budaya tidak layak bagi seorang guru atau seseorang yang punya jenggot menghadiri acara musik atau mendengarkan musik,” ujar Rafi.
“Karena itu, saya minta tolong teman saya untuk mengisi kartu memori saya dengan musik dan ia sedang menunggu saya di pasar. Saya mau beberapa lagu Pashtu di dalam telepon selular saya untuk musik pesta di wisma para pria malam ini.”
                Rafi dijemput Ashna Gul supir taksi berusia 25 tahun. Ashna sudah lebih dari 10 tahun jadi supir taksi di daerah kesukuan ini. Tapi karena Taliban melarang musik, ia tidak bisa punya pemutar musik di taksinya. Seperti Rafi, ia juga menggunakan telepon selularnya.
                 “Saya pakai telepon selular saya untuk mendengarkan musik karena milisi Taliban melarang musik dan pemutar musik. Mereka akan mendenda dan menghukum supir yang tetap mendengarkan musik.”
                Saat ini, anak-anak muda Pakistan di daerah kesukuan mengunakan telepon genggamnya untuk menyimpan lagu-lagu Pashtu dan India serta menonton film porno dan fim barat. Beberapa pemilik toko di pasar bisa mengisi kartu memori, tapi itu adalah bisnis yang beresiko.  Bulan lalu, militan Taliban mengebom 12 toko. Akibatnya para pemilik toko takut akan diserang lagi jika meneruskan bisnis ini.
                Milisi Taliban baru-baru ini mengebom beberapa toko musik di Pakistan karena mereka klaim tidak Islami.  Tapi makin banyak tekanan untuk melarang musik, masyarakat menemukan beragam cara untuk bisa mendengarkan lagu favoritnya. Di daerah kesukuan dan kerap bergejolak Khyber Agency, orang muda kini menggunakan telepon genggamnya untuk menghindari aturan itu.
Irfan Khan, 21 tahun, mulai bisnis kartu memorinya tiga tahun lalu. Ia tinggal dekat pasar dan punya komputer di tokonya untuk mengisi kartu memori.
Sebagai mahasiswa dari keluarga miskin, Irfan mulai bisnisnya dengan modal 300 dollar atau sekira  Rp 2,8 juta. Dengan modal itu penghasilannya hampir Rp 100 ribu sehari. Kata dia, penghasilannya jadi dua kali lipat saat ia juga mulai menjual film porno.

“Militan mengebom salah satu toko saya bulan lalu dan sejak itu, ibu saya langsung menelepon bila ia mendengar ada ledakan bom. Kami dapat ancaman tapi kami abaikan saja. Walau ini beresiko dan berbahaya, saya tidak bisa mulai usaha lain karena tidak punya modal.”
                Para pemimpin agama juga marah dengan cara orang muda menggunakan telepon genggam mereka. Saat sholat Jumat, beberapa Imam menggambarkan telepon selular sebagai ‘kutukan dari Tuhan’.  Dan orangtua yang membelikan anak-anak mereka telepon, kata para Imam, merusak masa depan anak-anaknya.
                Tapi tidak semua orang Pakistan sepakat dengan aturan ini.
                Hampir tengah malam, Rafi dan teman-temannya sudah menghidupkan musik Pasthu di telepon genggam mereka. Beberapa temannya menari sementara yang lainnya bertepuk tangan.
                Satu orang berdiri dekat gerbang utama menjaga keamanan setelah milisi menyerang sebuah pesta musik di daerah ini bulan lalu.  Rafi senang bisa menikmati lagu baru bersama teman-temannya walau mereka harus berhati-hati.
                “Saya sangat suka acara musik. Tapi saya tidak bisa menari di pesta karena situasi keamanan di sini memburuk dan kami takut jika militan tahu, mereka akan menghukum kami dengan pukulan,” ujar Rafi.
“Para militan akan menghukum bila mereka menemukan satu lagu saja di telepon genggam bahkan walau tidak untuk didengarkan. Apakah militan tahu soal pesta ini? Hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan kami dari hukumannya.”
           Rihan Khan, sepupu Rafi, bersama anak perempuannya yang berusia 4 tahun sedang menari di sampingnya, menghadiri pesta. Ia risau dengan cengkraman Taliban.
                “Tampaknya saja militan Taliban tidak punya kubu di wilayah ini tapi diam-diam mereka sangat berkuasa,” ujar Rihan.
“Saya khawatir kalau ada beberapa pendukung mereka di acara pesta malam ini. Orang-orang  tidak saling percaya lagi satu sama lain. Saya masih menikmati musik jadi saya menghadiri pesta ini bersama saudara, teman dan anak-anak saya.”
                Ironisnya sebagian besar kaum muda kesukuan jarang menggunakan telepon selular mereka untuk berkomunikasi.  Telepon genggam malah menawarkan cara untuk menikmati musik dan film yang  selama ini sulit mereka nikmati dengan cara biasa.
Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling diwww.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB

No comments:

Post a Comment