Friday, July 20, 2012

Ketika Kelompok Hindu dan Sikh Tak Bisa Mengkremasi di Afghanistan


Ketika Kelompok Hindu dan Sikh Tak Bisa Mengkremasi di Afghanistan
Zubair Babakarkhail
Asia Calling/Kabul, Afghanistan

            Masyarakat Hindu dan Sikh Afghanistan sudah tinggal di negeri itu selama berabad-abad, tapi sampai hari ini mereka harus berjuang untuk bisa hidup sesuai keyakinan agama mereka.
Kremasi sangat penting dalam ritual pemakamana Hindu dan Sikh - mereka yakin tubuh akan menahan jiwa sehingga tubuh mesti dibakar demi membantu jiwa melanjutkan perjalanannya. Tapi upacara ini makin sulit dilakukan – dan kadang di ibukota Kabul itu mustahil.
 “Selama sembilan tahun kami berusaha mencari tempat untuk kremasi tapi pemerintah terus mengabaikan kami,” tutur Awtar Singh Khalisa, Ketua Dewan Masyarakat Hindu dan Sikh Afghanistan di Kabul.
Upaya untuk memakai fasilitas krematorium satu-satunya di kota itu menghadapi protes dari komunitas di sekitarnya – dan pemerintah tidak memberikan solusi apapun.
            Banyak keluarga yang bahkan pindah ke India atau Pakistan agar bisa mengkremasi jenazah keluarganya.
“Kami menghadapi banyak masalah saat ada yang meninggal dalam kelompok kami. Masyarakat lokal tidak membolehkan kami membakar jenazah di sini. Kami kerap harus mengeluarkan banyak uang untuk membawa jenazah ke India, ke kota lain di Afghanistan bahkan ke Pakistan,” ujar Awtar.
“Bagi yang tidak bisa melakukan ini, terpaksa minta polisi untuk menjaga upacara kremasi. Tapi orang-orang tetap datang ke krematorium membawa sekop dan kapak dan mencoba menghentikan kami. Sangat beresiko bagi kami untuk melakukan kremasi di sini.” 
Kabul kini dihuni sekitar 5 juta penduduk – banyak pendatang dari berbagai provinsi untuk bekerja di sana.
Dulu Qalacha dihuni mayoritas Hindu dan Sikh, tapi kini juga dihuni orang-orang dari agama lain. Hanya daerah ini yang punya fasilitas kremasi untuk Hindu dan Sikh yang disebut Shamshan, yang dibangun 120 tahun lalu.
            Sementara itu, Bashir Ayubi, 28 tahun, seorang Muslim yang berasal dari provinsi Logar, mengatakan sebagian lahan di sekitar tempat pembakaran mayat sudah dimiliki warga yang beragama Islam.
“Semua properti disekitar tempat kremasi dulunya dimiliki orang Hindu tapi mereka menjualnya pada orang lain dan kini tempat itu dihuni berbagai kelompok,” ujar Bashir yang mulai tinggal di daerah ini delapan tahun lalu.
“Saat anak-anak berjalan dekat tempat itu, saat ada orang Hindu sedang membakar mayat, mereka jadi trauma dengan baunya. Baunya busuk dan bikin orang mual. Ini masalah bagi kami.”
            Ia bilang masyarakat di sana menentang kremasi bukan karena mereka menentang keyakinan agama yang berbeda.
“Sepuluh tahun lalu tidak ada rumah atau toko dekat daerah krematorium. Hanya ada beberapa ratus ribu orang yang tinggal di Kabul, tapi sekarang penduduknya jutaan. Bau mayat yang dibakar menggangu orang lain. Ini bukan berarti kami menentang orang Hindu dan agamanya.”
            Fasilitas krematorium itu merupakan daerah terbuka seluas delapan ribu meter persegi yang dikelilingi dinding lumpur yang tinggi dan ditumbuhi pohon buah-buahan.
            Jawansher Khalili, 41 tahun, pemilik toko dekat situ, menggambarkan bau busuk yang muncul saat kremasi dilakukan.
            “Coba ambil daging satu kilogram lalu bakar dan lihat bagaimana  baunya. Ini bukan seperti kalau memasak daging tapi Anda memasaknya sampai jadi abu. Bau manusia lebih busuk tapi saya tidak bisa menggambarkannya,ujar Khalili.
“Membuat Anda tidak nyaman saat Anda tahu ada manusia yang sedang dibakar di samping rumah dan saat Anda membauinya, itu langsung membuat anda mual dan muntah-muntah.”
Karena kremasi kadang mustahil dilakukan di Kabul, keluarga harus membayar hingga senilai Rp 95 juta untuk mengirim jenazah ke India atau Pakistan. Lebih dari tiga ribu keluarga Hindu dan Sikh tinggal di Afghanistan tujuh tahun lalu, tapi  sebagian besar sudah meninggalkan negara itu. Akses terhadap ritual kremasi adalah alasan utama untuk pindah.
            Saat ini tinggal sekitar 500 keluarga yang masih berada di Afghanistan. Mereka yang bertahan di negara itu kebanyakan tak punya kerabat di luar negeri atau tak punya cukup uang untuk pindah ke tempat lain.
            Perwakilan komunitas Hindu dan Sikh Aghanistan mengatakan hak mereka tidak dilindungi pemerintah.

Sami Yousafzai, seorang jurnalis Muslim yang bekerja untuk majalah internasional terkemuka, Newsweek dan mengikuti perkembangan masalah ini, mengatakan: “Menurut saya di negara yang masyarakat mayoritasnya juga menghadapi banyak masalah dalam melindungi hak asasinya, hak sipil dan hak kepemilikannya, maka lebih banyak lagi diskrimasi bagi minoritas seperi orang Sikh, Hindu dan yang lainnya.”
“Pemerintah seharusnya menyediakan kebutuhan dasar termasuk sebuah tempat dimana mereka bisa melakukan aktivitas keagamaan dengan aman. Walau tidak banyak orang Sikh atau Hindu di sini, mereka adalah bagian masyarakat kita. Mereka punya hak yang sama seperti orang Afghanistan lainnya termasuk Muslim.”
            Pekan lalu, pemerintahan kota Kabul, menyatakan mereka sedang menyiapkan fasilitas krematorium baru bagi orang Hindu dan Sikh di kota itu.
            Deputi Direktur Pelayanan Kota Kabul Khogman Olumi, mengatakan: “Sebenarnya kami sedang bernegosiasi dengan masyarakat lokal di bagian timur Kabul. Kami sudah memilihkan tempat baru bagi orang Hindu untuk upacara kremasi.”
“Itu daerah yang luas dan desa-desa cukup jauh dari sana. Tapi butuh bertahun-tahun bagi kami untuk sampai pada titik ini, karena awalnya penduduk di sana tidak setuju orang Hindu punya fasilitas kremasi di sana. Saat ini kami mendekati kesepakatan jadi menurut saya masalah ini akan terselesaikan.”
            Tapi menurut Awtar Singh Khalisa, jalan keluar bagi warga Hindu dan Sikh tidak akan didapat dalam waktu dekat.

           Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling diwww.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB

No comments:

Post a Comment