Wednesday, July 4, 2012

Istri Dijual Bagai Barang Dagangan di Afghanistan




Istri Dijual Bagai Barang Dagangan di Afghanistan

Ghayor Wazir
Asia Calling/Nangarhar, Afghanistan

Hasibo Be Be, 35 tahun, berasal dari Desa Dragay di Shinwar. Suaminya pernah mencoba menjual dia sebelum pernikahannya yang ke-dua.
“Saya sudah menikah dengan suami saya selama 6 tahun, tapi saya tidak bisa punya anak. Waktu dia menikah dengan perempuan lain, ia memutuskan untuk menjual saya ke laki-laki lain, tapi saya sudah tahu soal rencananya itu. Ketika dia keluar rumah dan keluarganya sibuk kerja, saya melarikan diri di malam hari. Sekarang saya tinggal di rumah kontrakkan.”
Hasibo melarikan diri ke satu desa, 50 kilometer dari tempatnya,  dan kini bertahan hidup dari  penghasilannya  yang kecil menjual telur. Karena suku dan keluarganya mendukung, suami Hasibo Be Be tidak bisa menghentikannya. Tapi ia mengatakan, para perempuan lainnya tidak  seberuntung dia.
Meski sudah sepuluh tahun lebih sejak Taliban digulingkan dari kekuasannya di Afghanistan dan para perempuan dewasa dan muda sudah kembali bekerja dan bersekolah, tapi  sebagian, masih mengalami kesulitan dan tidak sebebas perempuan lainnya. Para lelaki Afghanistan memperlakuan isteri mereka bak barang – membeli dan menjualnya sesuka hatinya.
Praktek penjualan isteri sudah jadi hal biasa di distrik Shinwar, provinsi Nangarhar, satu bagian terpencil di bagian timur Afghanistan.  Kemandulan, masalah pernikahan dan keingingan untuk punya isteri baru, adalah beberapa alasan utama mengapa para lelaki memutuskan untuk menjual  isteri-isteri mereka.
Penjualan ini diatur secara diam-diam antara para lelaki , dan para  isteri tak bisa menolak. Para isteri tak pernah diberi tahu dan terpaksa meninggalkan anak-anaknya.
 “Salah satu tetangga saya menikah dengan perempuan lain, tapi ketika ia menikah ia menjual isteri pertamanya. Lalu ketika dia menikah untuk ke-tiga kalinya ia menjual isteri ke-dua nya seharga sekitar 30 ribu rupiah. Biasanya para suami punya cara untuk menjual isteri mereka dengan cara menipu mereka. Contohnya mereka mengatakan ‘ayo kita jalan-jalan ke kuil’. Itulah yang terjadi dengan tetangga saya. Suaminya mengajak dia pergi jalan-ajalan, tapi sebelumnya dia sudah berbicara dengan seorang laki-laki untuk menjual isterinya. Waktu dia pergi sama suaminya, dia diserahkan ke laki-laki lain. “
Dalam banyak kasus, para perempuan di Shinwar, tidak bisa meninggalkan rumah mereka tanpa izin dari suami mereka. Sabreena Hameedi, kepala urusan perempuan di Komisi Independen Hak Azasi Manusia provinsi Nangarhar, menuturkan, para perempuan di daerah ini diperlakukan seperti benda-benda milik para lelaki.
“Para perempuan digunakan sebagai komoditas. Kami sudah tahu soal berbagai kasus di desa-desa terpencil. Dalam salah satu kasus ini, penjahatnya ditangkap. Kasusnya sedang berjalan di pengadilan. Suami dari perempuan ini dimutilasi dan terinfeksi penyakit yang tidak bisa disembuhkan,  jadi keluarga laki-laki ini memutuskan untuk menjual sang isteri. Ada beberapa kasus yang sama seperti itu juga.
Tidak ada angka resmi jumlah isteri yang dijual, tapi para warga desa di Shinwar mengatakan, kadang mereka menyaksikan penjualan dua isteri per hari. 
Angiza Shinwaree, 28 tahun, wakil pemerintah daerah, mengatakan, sedang berjuang untuk menghentikan praktek seperti ini.
“Ada juga tradisi konyol lainnya, tapi penjualan para isteri dan perempuan adalah tradisi umum yang paling buruk di beberapa desa seperti di distrik ini. Waktu saya ikut dewan provinsi , saya mulai memperjuangkan hak-hak para perempuan disini dan waktu saya dengar soal para isteri yang dijual atau tentang masalah lainnya, saya langsung melaporkannya ke dewan regional dan polisi.”
Namun Angiza menuturkan, pihak berwajib sudah terkenal korup dan membayar para pengantin supaya tidak mengajukan tuntutan mereka. 
“Sayangnya karena orang-orang korup dalam berbagai organisasi ini, kadang mereka tidak bisa menghukum siapa saja  yang tidak taat hukum. Mereka biarkan para pelanggar karena disuap,  jadi itu sebabnya praktek semacam ini masih berlanjut. Kadang mereka yang menjual isteri atau melanggar hak-hak perempuan, mengancam saya supaya kasus mereka dibatalkan, tapi saya tidak pernah takut dan saya lanjutkan perjuangan saya melawan tradisi yang tidak baik ini.”
                Di tempat terpisah, Montazim 70 gahun, kepala suku di Shinwar mengatakan, beberapa tahun belakangan ini  jumlah penjualan isteri telah menurun. 
“Dulu, tradisi ini sudah biasa, masyarakat masih buta huruf. Tapi tingkat penjualannya kini menurun karena masyarakat sudah lebih berpendidikan, mereka sudah tahu soal hak-hak para perempuan. Mereka yang menjual isteri adalah orang-orang yang bodoh dan hanya di desa-desa tertentu.”
Menurut Action Aid Survey pada 2011, dua pertiga perempuan Afghanistan   merasa lebih aman ketimbang 10 tahun lalu, ketika negeri itu masih di bawah pemerintahan Taliban.  Sejumlah kelompok hak-hak azasi manusia mengatakan, sudah ada kemajuan yang besar dan para perempuan Afghanistan kini punya akses yang lebih baik pada pendidikan dan pelayanan kesehatan.  Namun di daerah terpencil seperti Nangarhar, kemajuan itu masih berjalan lambat.
                Wakil daerah, Angiza mengatakan, cara terbaik untuk menghentikan penjualan isteri adalah melalui berbagai inisiatif di tingkat pedesaan.
“Para perempuan yang  tinggal di daerah terpencil dan menghadapi berbagai masalah seperti penjualan isteri, hanya punya pilihan terbatas. Mereka tidak bisa pergi ke polisi atau organisasi hak azasi manusia. Kami harus mengadakan lokakarya untuk para polisi, kepala suku dan para warga desa supaya kami bisa memberikan mereka pendidikan dan bantuan.”

Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling diwww.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB

No comments:

Post a Comment