Wednesday, July 4, 2012

Me N Ma Girls – Band Perempuan Burma yang Punya Misi


  Me N Ma Girls – Band Perempuan Burma yang Punya Misi

Citra Dyah Prastuti
Asia Calling/Rangoon, Burma

            Selamat datang perempuan Burma! Setelah puluhan tahun berada di bawah kediktatoran militer, ada suara lain yang muncul dari Burma.
            “Selamat Datang di Burma,”  lantun lima artis muda dari Me N Ma Girls, kelompok band perempuan yang menyanyi dan menari.
Me N Ma Girls ingin mendobrak dunia musik Burma dan menarik perhatian dunia internasional. Kelima perempuan muda bertalenta ini rata-rata berusia 20an tahun. Mereka tidak hanya menari dan menyanyi tapi juga mendobrak batasan sosial dan budaya.  Mereka bernyanyi dalam bahasa Inggris dan Burma dan dalam video klip lagunya mereka memakai pakaian tradisional dan modern.
“Kami menulis sebagian besar lagu, ada juga yang ditulis sebagian komposer terkenal di Burma. Sebelum presiden kami diganti, kami hanya boleh menulis lagu cinta dan sedih. Lagu sedih mudah untuk diingat,” tutur Htike Htike, salah satu anggota band.
”Tapi sekarang orang-orang menitikberatkan pada demokrasi dan politik, itu sebabnya setelah presiden berganti, hukum berubah. Kami bisa menulis lagu tentang politik. Pikiran dan mata kami terbuka dan kami bisa menulis dan mengatakan apa saja yang kami suka. Kami punya kebebasan berbicara.”
            Band ini dibentuk di 2010 saat penari Australia, Nikki May, memutuskan untuk membantu pembentukan Spice Girls versi Burma, dan melakukan audisi. Kini ia menjadi manajer band ini. Mereka merekrut produser yang menamakan band mereka “Tiger Girls” dan mereka menyanyikan lagu orang lain.
            Tapi mereka ingin melakukan lebih banyak lagi. Tahun lalu mereka memutuskan untuk berpisah dengan produser itu dan membentuk Me N Ma Girls. Nama kelompok itu merupakan permainan kata-kata - dalam bahasa Inggris berarti ‘me and my girls’ atau 'saya dan teman perempuan saya’, yang bunyinya mirip dengan nama lain Burma yaitu Myanmar.
            Desember lalu mereka merilis album perdana berjudul ' Minga Lar Par' atau 'Selamat Datang' dalam bahasa Burma.
            Anggota band itu bertemu seminggu sekali untuk berlatih di rumah manajer mereka di Rangoon. Tapi hari ini listrik sedang padam.
 “Ini jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun tahun sebelumnya. Waktu kami terbatas saat listrik hidup dan mati. Tapi sekarang jarang tanpa listrik. Kadang-kadang saja padam kayak sekarang,” ujar Htike Htike dalam bahasa Inggris.
            Mereka harus berlatih tanpa diiringi musik – menari dan menanyi di depan kaca yang sangat besar. Mereka mendapat perhatian internasional dengan penampilan mereka – tapi kepopuleran mereka di tanah air masih sangat dini.
            “Kami berkulit gelap. Di negei ini, orang lebih suka dengan yang berkulit terang dan berwajah cantik. Dan kami tidak cukup cantik! (laughing) tapi kami bisa bernyayi dengan bagus. Itu lebih sulit. Tapi apapun yang kami lakukan adalah untuk negeri ini. Kami ingin tunjukkan pada dunia inilah Me N Ma girls. Perempuan Myanmar yang juga seperti perempuan lain di dunia.”
            Ada kualitas lain dari para perempuan ini selain kepiawaian menari dan menyanyi. Htike Htike, misalnya, sedang belajar ilmu komputer dan Cha Cha punya gelar sarjana ilmu zoologi. Sementara itu Ah Moon belajar bahasa Rusia dan Wai Hnin Khaing lulusan jurusan kimia.
            Kimmy pindah dari negara bagian termiskin di Burma, Chin, ke ke Rangoon untuk belajar Matematika – dan hal lain yang ia sukai.

“Saya juga ikut sekolah musik untuk belajar teori musik. Tapi saya belum selesai. Saya mempelajari matematika dan teori musik pada saat yang bersamaan dan saya juga les piano. Selain itu juga belajar menari. Saya jadi tidak punya waktu lagi. Banyak hal yang ingin saya lakukan! Saya ingin mengembangkan diri saya,” ujar  Kimmy.
            Kelima perempuan ini berasal dari wilayah berbeda di negeri itu dan juga penganut agama yang berbeda. Ah Moon berasal dari negara bagian Kachin.
            “Kadang saya lupa kalau saya orang Kachin. Itu betul. Saya hanya ingin jadi manusia – bukan orang Kachin, Burma, Amerika atau Australia...hanya manusia. Itu sebabnya saya bisa katakan apa yang ada di kepala saya. Saat saya menulis, saya merasa seperti perempuan lain. Saat saya menulis lagu politik, saya merasa seperti orang Myanmar bukan perempuan Kachin,” ujar Ah Moon.
            Lagu baru mereka berjudul ‘Come Back Home’ atau ‘Pulang ke Rumah’ - ini merupakan ajakan bagi jutaan orang Burma yang melarikan diri dari represi militer dan kemiskinan. Ah Moon ikut menulis lagu ini.
            “Seharusnya lebih banyak lagu politik seperti ini. Dulunya ada tapi dilarang. Tapi sekarang ada kebebasan berbicara, kami berani menulis soal ini dengan bebas. Dan kami berani mengatakannya dengan bebas. Ini kebebasan apa saja. Ini kebebasan rakyat Myanmar. Kami ingin mengatakan orang Myanmar di luar negeri untuk pulang, dimana ada kerabat dan tempat ini membutuhkan kalian.”
            Dia sudah punya lagu baru untuk album berikutnya. Diantaranya, lagu yang berjudul 'Perang', mengkritik konflik sipil yang masih berlangsung di kampung halamannya, Negara Bagian Kachin.
            Sementara itu, tidak mudah bagi para perempuan ini meyakinkan keluarganya bahwa mereka mampu bertahan hanya dengan menyanyi. Cha Cha mengatakan ia menutuskan mengikuti apa yang ia suka.
            “Awalnya orangtua saya tidak mengizinkan saya untuk terjun dalam kehidupan artis ini. Ayah saya ingin saya jadi pengusaha, tapi saya tidak tertarik. Saya suka menyanyi dan menari. Jadi itu mengapa saya memilih jalan saya. Impian saya jadi kenyataan...hampir. Sekarang saya ingi ke Hollywoon dengan band perempuan ini.”
            Dan ini mungkin tak lama lagi bukan sekedar mimpi. Band ini tengah disorot media internasional kata Ah Moon dan sudah ditawari kesempatan untuk merekam album berikutnya di Los Angeles.
            “Mereka melihat kami. Media internasional sedang fokus pada kami. Mereka punya minat yang besar pada kami. Mereka percaya pada kami. Jika tidak, mereka tidak akan mau melakukannya. Seperti yang manajer kami Nikki katakan, mereka percaya pada kalian dan kalian harus berusaha keras. Jika kalian tidak berhasil, apalagi? Hal terburuk yang terjadi adalah kami ke Amerika, merekam di sana dan pulang kembali. Tidak rugi apapun.”
***
Di luar panggung, mereka tetaplah perempuan rumahan. Cha Cha punya jam malam dari orangtuanya dan sudah harus di rumah sebelum jam 7 malam.
“Ya benar! Siapa yang bilang?... karena ibu saya tidak suka kalau saya pulang telat. Itu alasanya kami latihan sebelum jam 7 malam . Jadi saya bisa pulang dan latihan dengan yang lain. Mereka mengerti dengan kondisi saya.”
            Ayah Ah Moon seorang pendeta dan ibunya Lu Nan ibu rumah tangga. Lu Nan mengatakan ia mendukung anaknya sampai kapan pun.
“Ada orang- orang seperti orang gereja, yang tidak setuju anak saya jadi artis. Tapi suami saya sebagai pendeta tidak merasakan hal yang sama. Kami hanya ingin dia melakukan apa pun yang dia inginkan. Kami mengerti keinginan dia untuk menari dan menyanyi. Kami tidak ingin berpikiran sempit makanya kami dukung dia,” tutur Lu Nan.

Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.asiacalling.org.

Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling diwww.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB

No comments:

Post a Comment