Saturday, May 5, 2012

Mengintip Desa PRT Cina


Mengintip Desa PRT Cina  
(Lam Li, Asia Calling/Beijing)
Selamat datang di desa Dong Xin Dian, yang oleh warga setempat dikenal sebagai ‘Desa Pengasuh’.
                Banyak perempuan di sini bekerja sebagai pembantu rumah tangga di bungalo-bungalo di Distrik Shunyi yang dipenuhi dengan orang Cina kaya dan profesional asing.
                Ada satu jalan utama di desa ini. Di pinggirnya berjajar toko-toko dan pedagang kaki lima. Jalan utama ini bercabang ke jalan-jalan tanah, menuju bangunan-bangunan yang tidak begitu tinggi.
 “Ini gaya bangunan khas di sini, bangunan berlantai tiga yang diubah dari rumah berlantai satu. Sekarang mereka membaginya menjadi kamar-kamar kecil,  tidak lebih dari 20 meter persegi. Setiap ruangan dihuni dua sampai empat orang. Hanya ada segelintir orang asli Beijing di desa ini; mereka membangun ruangan itu untuk disewakan kepada pekerja migran seperti kami,” ujar Xiou Li, salah satu warga di sini.
                Sembilan puluh persen penduduk di sini adalah pekerja migran dari pedesaan Cina. Perpindahan besar-besaran dari desa ke kota menyebabkan pesatnya urbanisasi.
Tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejara di Cina jumlah penduduk kota melampaui penduduk desa. Sepertiga petani di desa telah pindah ke berbagai kota untuk mencari kesempatan kerja yang lebih baik.
                Banyak migran dari desa tinggal di pinggiran kota yang disebut 'desa-di-kota' – tidak beraturan, ada di pinggiran dan dihuni pekerja yang tak terhitung jumlahnya. 
                Penduduk di sini disebut 'semi-urban', dan mereka tidak menikmati kesejahteraan sosial yang sama seperti warga yang lahir di kota.
Setelah bekerja seharian mencuci pakaian orang lain dan mengasuh anak,  Jin Jie, 47 tahun, memasak untuk keluarganya. Dapur daruratnya berada di koridor yang digunakan bersama penghuni lain.
                Makan malam hari ini terdiri dari tumis kepala ikan dan siap saat suaminya pulang dari lokasi konstruksi dan anak perempuannya selesai bekerja di sebuah mal.
                Jin Jie datang yang berasal dari Provinsi Anhui, telah empat kali pindah rumah beberapa tahun terakhir ini.
“Sekali rumah kami dibongkar atau dipindahkan karena pembangunan. Sangat sulit mencari tempat dengan angkutan umum yang nyaman dan sewa yang terjangkau. Dalam beberapa tahun terakhir, tiga dari lima desa di wilayah ini telah dibongkar. Dong Xin Dian, salah satu yang terakhir yang masih bertahan. Tapi sewanya naik. Ketika pertama pindah ke sini, sewanya sekitar Rp 430 ribu, lalu Rp 500 ribu dan sekarang lebih dari Rp 550 ribu. Tiga kali naik selama kurang dari dua tahun.”
Jin mengatakan pemilik tanah yang membangun tempat yang disewanya ini, sedang mencari tempat untuk pindah.
                 “Di tempat kami yang dulu, pemiliknya terus memperluas bangunannya. Ia membangun gedung di setiap tempat yang tersisa, dan membuat sebanyak mungkin kamar. Ketika dibongkar dan direlokasi, kompensasi resmi dihitung berdasarkan tempat yang dibangun dan pemilik tanah mendapat ganti rugi relokasi dan perumahan. Kini pembangunan juga pesat di Dong Xin Dian dan bangunan melampaui batas tanah hingga ke jalanan hingga jadi lebih luas.”
                Tapi tidak seperti pemilik tanah, penyewa migran seperti Jin tidak menerima kompensasi.
Yang mesti dihadapi para pengasuh ini tak sekadar naiknya ongkos sewa tempat tinggal.
                Zhang Min, 32 tahun, yang berasal dari Sichuan, sedang mencuci pakaian keluarganya di malam hari, setelah ia pulang bekerja seharian di dua rumah yang berbeda. Dia bekerja enam hari seminggu dan penghasilannya sekitar Rp 4 juta sebulan.
                 “Yang lain bilang, jika Anda bekerja Anda berhak mendapatkan asuransi dan pensiun. Tapi saya tidak punya satu pun, karena saya tidak bekerja di perusahaan, saya bekerja untuk rumah tangga.”
                Zhang rindu pada anak lelakinya yang tetap tinggal di kampung, dengan biaya hidup dan sekolah lebih murah.
 “Anak lelaki saya berusia 8 tahun. Jika saya membawanya ke Beijing, saya tak punya sisa uang lagi. Dia datang kemari untuk liburan musim panas tahun lalu, dan pengeluaran kami meningkat tajam. Untuk mengirim dia pulang, kami terpaksa pinjam uang dari teman saya.”
                Beijing dihuni 20 juta jiwa dan hampir 40 persen penduduknya adalah migran. Banyak dari pekerja yang tidak punya kemampuan ini digambarkan sebagai orang 'semi kota'.
                Du Yang, seorang peneliti di Institut Kependudukan dan Ekonomi Buruh, di Akademi Ilmu Pengetahuan Cina, salah satu pemikir utama Cina, mengatakan: “Dalam istilah statistik, kita menganggap orang yang hidup di perkotaan selama lebih dari enam bulan sebagai orang kota. Tapi banyak masyarakat desa yang pindah ke kota, karena keberadaan sistem hukou, mereka tidak menikmati keuntungan dari kesejahteraan sosial seperti masyarakat yang berstatus orang kota.”.
                Hukou adalah sistem izin tinggal yang dibuat pada masa ekonomi yang direncanakan secara terpusat di Cina.
                Sistem itu membagi masyarakat dalam dua kategori berdasarkan tempat lahir – penduduk desa atau kota. Ketika seseorang pindah keluar dari kategorinya, dia kehilangan akses pelayanan publik seperti pendidikan, perawatan medis, perumahan dan pensiun.
 “Kami harap di masa depan, hukou tidak terlalu berhubungan dengan hak untuk mendapatkan kesejahteraan. Negara harus menyediakan sistem kesejahteraan sosial yang luas dan tidak diskriminasi. Ini bisa diminimalkan tapi harus mencakup sebanyak mungkin orang,” tutur Du.
                Akhir tahun lalu, pemerintah Cina mengeluarkan sebuah kebijakan soal tugas pembangunan kependudukan bagi pejabat pemerintah. Kebijakan itu menyebutkan kalau kota yang lebih kecil bisa melonggarkan hukou, sehingga orang desa yang 'memenuhi syarat' bisa mendapatkan status orang kota.
                Tapi kota yang lebih besar masih perlu menjaga pertumbuhan populasi agar turun sampai tingkat yang dianggap 'wajar'. Pemerintah juga menargetkan perbaikan kondisi hidup pekerja migran dan mendorong pemerintah daerah untuk membangun perumahan murah bagi kandidat yang 'memenuhi syarat'. Tapi tidak disebutkan apa yang harus dilakukan untuk dianggap 'memenuhi syarat'.
***       
Keluarga Jin Jie berkumpul di sekitar televisi setelah makan malam. Ia telah bekerja di Beijing selama 11 tahun. Tapi menurut pendaftaran hukou resminya, ia adalah petani yang tinggal di pedesaan.
 “Orang seperti saya tidak punya kesempataan untuk mengubah hukou saya kecuali saya punya uang untuk membeli rumah di sini.”
Memiliki rumah hanyalah mimpi bagi Jin Jie. Ia bahkan tidak bisa mengatasi harga sewa rumah di kota yang terus meningkat.

Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB

No comments:

Post a Comment