Monday, May 21, 2012

Hong Kong Larang ‘Wisata Melahirkan’


Hong Kong Larang ‘Wisata Melahirkan’
(Banyal Kong Janoi, Asia Calling/Hong Kong)

Yang Hai Yan, 27 tahun, sedang hamil delapan bulan dan sampai saat ini ia belum mendapatkan kamar di rumah sakit untuk melahirkan.
“Kami gelisah sekali... kami tidak tahu dimana kami harus pergi untuk melahirkan bayi-bayi kami,” ujar Yang.
Yang berdiri di antara para perempuan hamil dalam sebuah demonstrasi. Mereka turun ke jalanan dan  berteriak “Para ibu butuh tempat tidur, bayi-bayi harus dilahirkan”.
                Perempuan-perempuan ini berasal Cina daratan yang bersuamikan warga Hong Kong – dan dengan adanya pengurangan kuota tahun ini berarti mereka tidak mendapatkan tempat untuk melahirkan di rumah sakit.
                Mereka menuntut pemerintah untuk mengkaji ulang pembatasan jumlah ibu asal Cina  daratan yang boleh melahirkan di Hong Kong.
                Awal bulan ini, pemerintah Hong Kong menurunkan kuota untuk  para perempuan Cina daratan yang bisa mendapatkan perawatan melahirkan.
                Tahun ini kuotanya mencapai 35 juta ibu, di rumah sakit umum dan swasta – ini 7 persen lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Tujuh ribu kamar di rumah sakit swasta dialokasikan bagi mereka.
                Hampir 88 ribu bayi dilahirkan di Hong Kong pada 2010, dan hampir separuhnya dilahirkan oleh para perempuan asal Cina daratan.
                Warga Hong Kong menyebutnya sebagai “wisata melahiran” – ibu hamil dari Cina daratan datang untuk melahirkan di Hong Kong demi menghindari berbagai kebijakan di Cina. Tapi warga Hong Kong berang – kata mereka, para perempuan itu merebut hak-hak warga lokal.
                Tahun depan pemerintah akan melarang semua ibu dari Cina daratan yang suaminya bukan dari Hong Kong untuk melahirkan di sini. Namun, kuota  itu sekarang sudah berdampak buruk bagi para perempuan yang sekarang tengah mencari tempat untuk melahirkan.
 “Kami ingin satu solusi yang lebih baik karena suami saya adalah warga Hong Kong. Dia membayar pajak; keluarga kami semestinya bisa menikmati pelayanan lokal yang sama,” ujar Yang.
                Sementara itu suami Yang, Chan Chi-keung mengatakan: “Kami  mengalami diskriminasi yang sangat besar. Awalnya, isteri saya hanya boleh mendapatkan ‘visa turis’ yang akan kadaluwarsa dalam tiga bulan lagi. Artinya dia harus kembali lagi ke Cina daratan untuk memperpanjang visanya.  Selain itu, dia tidak bisa bekerja di Hong Kong berdasarkan hukum Hong Kong yang berlaku sekarang ini. Saya satu-satunya orang yang boleh bekerja di keluarga kami. Sekarang  bayi saya tidak bisa dilahirkan di Hong Kong. Bayangkan, hidup seperti apa yang kami jalani?”
                Hong Kong sangat menggiurkan bagi banyak warga Cinda daratan. Anak-anak yang lahir di wilayah ini bisa mendapatkan hak tinggal di sana – artinya berhak mendapatkan pendidikan gratis, kebebasan politik yang lebih besar, serta paspor Hong Kong yang memungkinkan mereka lebih mudah untuk bepergian.  
                Selain itu Pemerintah Hong Kong juga tidak memberlakukan kebijakan satu anak seperti Cina – jadi para orang tua bisa punya sebanyak mungkin anak yang mereka inginkan.
                Masalah ini sangat sensitif bagi para warga lokal – mereka menyebut  arus masuknya para perempuan Cina daratan sebagai ‘wisata melahirkan’, satu istilah yang menghina mereka. Dan mereka terlalu memadati daerah ini – banyak rumah sakit yang sudah penuh sampai Juni tahun ini.
                Sebagian rumah sakit swasta lebih suka memberikan kamar kepada pasangan asal Cina daratan karena bisa menetapkan biaya yang lebih tinggi – lebih dari 82 juta rupiah bagi setiap ibu hamil. Sementara calon ibu lokal hanya membayar sekitar 550 ribu rupiah.
                Menurut mahasiswa Hong Kong, Steffi Au, kebijakan ini prioritas yang salah dari rumah sakit swasta.
“Saya khawatir mereka hanya mengejar uang saja ketimbang memastikan hak-hak warga Hong Kong terpenuhi. Karena para pasien berasal dari Cina, dan di Cina ada banyak orang kaya, khususnya mereka dari kota-kota besar. Kalau uang yang menentukan siapa yang bisa masuk rumah sakit bersalin, ini adalah masalah yang sangat memprihatinkan. Karena tidak semua orang di Hong Kong adalah orang kaya. Di sini masih ada kesenjangan kekayaan,” tutur Stefi.
                Kuota baru ini sangat didukung oleh para warga, termasuk Jini Siu.
                “Menurut saya, keadaan ini menyedihkan . Ini adalah Hong Kong dan kita harus melayani para perempuan Hong Kong lebih dulu.  Tapi sekarang, sebagian besar sumber-sumber berlih kepada para perempuan Cina daratan.”
                Namun, keadaan sangat rumit bagi isteri-isteri asal Cina daratan yang menikah dengan para lelakiHong Kong.
                Menurut  data pemerintah, pada tahun lalu,  lebih dari 6000 anak dilahirkan dalam keluarga lintas budaya.
                Kuota yang dipaksakan pada perempuan ini tidak adil, kata Tsang Koon-Wing dari Mainland-Hong Kong Families Rights Association.
                 “Para isteri Cina daratan itu, yang menikah dengan para suami Hong Kong, mereka membangun keluarganya di Hong Kong, mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat Hong Kong. Jadi, mengapa pemerintah mendiskriminasi mereka, dan tidak memberikan tempat bagi mereka?” ujar Tsang.
                “ Kami mendesak  pemerintah untuk membedakan dengan jelas.  Yang partama adalah anggota kami; isteri Cina daratan dengan suami Hong Kong. Dan yang lain adalah keduanya, baik suami dan isteri, yang datang dari Cina daratan. Lalu, rumah sakit umum  yang melayani para ibu lokal harus juga membantu semua kelaurga Hong Kong. Kami tahu berbagai rumah sakit umum punya uang yang cukup untuk melakukannya. ”    
                Sementara itu, Lin Yu Jing, yang sedang hamil 5 bulan anak pertamanya ini sudah coba memesan kamar di rumah sakit, tapi belum berhasil.
“Kalau kami tidak bisa dapat tempat di rumah sakit di Hong Kong, saya harus kembali lagi ke Cina daratan untuk melahirkan.  Ini akan sangat sulit bagi kami, dan untuk pendidikan bayi kami.  Anak saya tidak akan bisa mendapatkan izin menetap di Hong Kong. Keluarga kami akan terpisah. Saya tidak berani membayangkan masa depan kami nantinya,” ujar perempuan berusia 25 tahun ini.
                Tekanan publik memksa pemerintah untuk melakukan perubahan untuk tahun depan. Ketika kuota diturunkan hingga nol pada tahun 2013, larangan itu berlaku untuk para perempuan Cina daratan yang suaminya bukan orang Hong Kong.
                Tapi tanpa solusi lainnya, ini bakal terlalu terlambat bagi para pendemo ini --- anak-anak mereka tak bisa menunggu.

Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB

No comments:

Post a Comment