Rebecca Henschke
Asia Calling/Sumba, Nusa Tenggara Timur
15/07/2013
Di sebuah daerah terpencil di
Indonesia Timur, anak-anak berusia empat atau lima tahun bekerja sebagai joki
anak profesional.
Sebuah acara pacuan kuda baru-baru
ini diadakan di Pulau Sumba, yang terkenal dengan kudanya. Acara yang diadakan
di timur pulau itu berlangsung selama 11 hari dengan sekitar 600 kuda. Dan
semua penunggang kuda adalah anak-anak berusia di bawah 11 tahun.
Salah satunya, Ade, joki anak professional
yang baru berusia 7 tahun. Tingginya hanya sepinggang orang dewasa. Saat ini ia
memakai masker penutup wajah seperti ninja,
hanya terlihat mata dan
mulutnya saja. Selain itu dia juga
memakai helm kecil tapi bertelanjang kaki.
Matanya memar akibat jatuh dari kuda. Dia sudah menjadi joki sejak
berusia 4 tahun.
Ade tidak punya kuda sendiri.
Jadi dia ada di sini berharap seseorang akan memperkerjakannya sebagai joki.
Seorang
pria datang dan bertanya apakah Ade mau jadi jokinya. Laki-laki itu menarik
tangannya dan mengatakan “Saya mau pakai dia” dan ayah Ade setuju.
Kuda-kuda
di sini berukuran kecil, tingginya hanya sekitar 1,5 meter.
Tapi meski begitu, Ayah Ade tetap
harus membantunya naik ke punggung kuda yang belum pernah ditungganginya itu.
“Dari sejak umur empat tahun bisa kita pake.
Kita latih dulu dari umur tiga setengah, jadi umur lima empat tahun sudah bisa
dipakai. Sekarang sudah umur tujuh tahun sudah pintar dia,” ujar ayah Ade.
Dan
pacuan pun dimulai. Orang-orang berlarian ke ujung lintasan ke garis finish. Ade dibayar 50 ribu rupiah setiap kali ikut
pacuan. Dan dia sudah menyelesaikan tiga putaran sekarang...
“Capek,”
ujar Ade.
Ayahnya
lalu menurunkan dia dan membawanya pergi.
“Kalau
dia masih kuat dia naik terus lebih dari 10 kali. Kalau masih kuat ya naik
terus, kalau tidak kuat ya minta istirahat,” kata sang ayah.
Ade dan kakaknya Enid, 9 tahun,
adalah joki. Mereka adalah pencari nafkah bagi keluarga mereka, kata sang
ibu.
“Kalau
kita bawa uang itu ada 15 juta ada 10 juta itu tergantung nanti...ya selama 7
hari,” kata ibu Ade.
“Ada sekolah. Dia minta ijin dulu
karena ada bos di sini yang panggil dia sudah tahu dia naik kuda. Kalau gurunya
bilang begini kenapa kamu boleh naik kuda terus terus kamu nda mau sekolah? Siapa
yang kasih makan bapak dan ibu saya, siapa yang urus adik-adik saya, dia bilang
begitu ke guru.”
Di Indonesia, mempekerjakan anak
di bawah usia 15 tahun itu melanggar hukum. Dan menurut Undang-undang,
anak-anak mesti berusia 18 tahun untuk boleh melakukan pekerjaan yang
berbahaya.
Tapi
panitia acara Umbu Tamba mengatakan pacuan kudanya tidak melanggar hukum.
“Ya
karena tradisi kan, adat. Hukum adatkan tetap ada dibandingkan hukum formal.
Sebetulnya dari dulu saya juga bekas joki. Saya berulang kali jatuh dari kuda
tapi tidak papa.”
Ada
yang bilang, anak-anak dipaksa jadi joki, dan tidak baik kan memperlakukan anak
seperti ini?
“Nda...itu
hanya provokator saja, kali nga punya kuda, dia nga mengerti kuda. Tidak ada
paksaan di sini, tidak ada. Dia tunggang kuda kan tidak gratis juga. Walaupun
nga ada target, harus sekian nga, tapi kita kan punya rasa kasih. Ya kita
hargai mereka punya jasa.”
Ini saatnya makan siang dan
keluarga itu duduk di rerumputan di tengah lintasan. Pamannya ingin bicara soal
taktik berkuda.
Tapi Ade tidak mendengarkan. Dia
sibuk membual di depan segerombolan anak lelaki yang mengerumuninya, tentang
berapa banyak balapan yang sudah ia menangkan. “Juara tiga sekali.... juara
dua, dua kali...juara satu, dua kali...”
Ade
mulai menarik ayahnya . Dia lapar, katanya. Ibunya bergegas menyiapkan makanan
berupa daging sapi dengan kuah kacang, mie dan nasi. Ade yang makan pertama, baru kemudian ayah
dan ibunya menghabiskan sisanya.
“Saya belikan, sapi saya belikan buat mereka
rumah... takut saya kalau sudah besar takut mereka tanya, mana hasil saya cari.
Saya takut begitu. Siapa tahu mereka mau sekolah...,” tutur sang ibu.
Ade
harus melakukan pekerjaan lain saat usianya menginjak 15 tahun.
“Saya mau jadi tentara. Saya mau tembak...begini...trutt...,” ujar Ade.
Istirahat makan siang pun
berakhir dan pacuan pun kembali digelar. Sekarang Ade menunggang kuda baru... dan saat
kuda itu melewati stadion, ia membelok dengan tajam dan meninggalkan lapangan
menuju pintu gerbang ...
Pintu gerbang itu tertutup. Kuda
mengangkat kepalanya dan Ade terlontar dari punggung kuda...
Ibunya bergegas lari ke arah Ade. Semula saya kira dia
mencium kepala Ade.. tapi kemudian saya diberitahu kalau dia meniup roh jahat
pergi ... Kaki Ade tampaknya terluka.
“Nda...nga pernah bawa ke rumah sakit. Kalau
kita ini kalau patah itu harus obat Bima. Kalau di rumah sakit, kalau dia tidak
perbaiki ini kan langsung potong. Tapi kalau kita orang Bima tidak. Ada obat
sendiri. Diurut dukun dulu,” kata ibu Ade.
Ade mencoba berdiri. Dia bisa berjalan. Kali ini kakinya hanya mengalami memar...
Ade mencoba berdiri. Dia bisa berjalan. Kali ini kakinya hanya mengalami memar...
“Ya karena kita sudah biasa,
sudah menjadi tradisi kita. Kita tidak merasa takut lagi... Kadang ada yang
patah juga. Patah kaki kadang,” ujar ayah Ade.
“Pernah dia patah. Yang besar itu juga pernah
patah kiri kanan dia punya kaki. Tapi tidak ada rasa takutnya dia. Semakin
merasa sakit, semakin berani dia karena sudah terbiasa,”
Sebenarnya
pemerintah daerah sudah menaruh perhatian soal kondisi keamanan yang lebih baik
bagi joki anak-anak ini.
“Sekarang saya sudah minta panitia
pengelolanya itu untuk memperhatikan aspek keselamatan mereka termasuk
pembagian porsi untuk joki. Harus siapkan..,” tutur Gidion Mbilijora, Bupati
Sumba Timur.
Bupati
mengetahui menurut hukum, mempekerjakan anak di bawah usia 15 tahun itu
melanggar hukum tapi di sini anak-anak yang baru berusia 4 atau 5 tahun sudah
bekerja sebagai joki.
“Ya betul ada UU itu tapi ini
terkait dengan budaya...budaya setempat sehingga pemerintah juga harus melihat
ini sebagai bagian budaya masyarakat setempat.”
“Kalau
dilarang saya sulit nanti...Saya yang susah...Saya akan diprotes warga saya...
(tertawa)...karena hasil dari pacuan itu mereka memelihara ternak dan ketika
masuk pacuan, harganya cukup tinggi.”
Kembali
ke pacuan, pemilik kuda lain datang dan meminta Ade kembali berlomba. Tapi
untuk kali pertama, dia menolak. Dia terlihat lelah dan memeluk pamannya.
“Sakit...cukup …,” ujar Ade.
Pacuan
hari ini berakhir... Ade berlarian ke lintasan pacu yang kosong untuk menangkap
jangkrik. Sementara joki anak yang lain menari-nari...
Kini
mereka bebas menjadi anak-anak...paling tidak sampai besok.
(**)
Artikel ini pertama
kali disiarkan di Asia Calling, program berita radio
aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen
di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia.
Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.portalkbr.com/asiacalling dan dengarkan relay programnya di BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB
No comments:
Post a Comment