Mg Myo
Asia Calling/ Thilawa, Burma
3/5/2013
Lebih dari 30 ribu orang akan digusur
paksa demi pembangunan Zona Ekonomi Khusus Thilawa.
Zona ini merupakan proyek
gabungan antara Kamar Dagang Burma dan Organisasi Perdagangan Jepang.
Para penduduk mengklaim, mereka belum
menerima ganti rugi yang adil. Namun, pemegang kewenangan mengatakan, mereka
akan memenjarakan warga jika menolak pergi.
U Myint Kyi, 54, petani kol di
desa Payar Gone ini dipaksa meninggalkan lahan pertaniannya.
“Saya sedih dan tidak dapat tidur. Saya
diberitahu tentang pemindahan itu. Saya tidak tahu mesti ke mana. ”
Bertani adalah satu-satunya
pemasukan baginya. Ia memperoleh 900an ribu rupiah setiap bulannya. Tidak ada
pengumuman resmi soal ganti rugi. Namun jika penduduk desa menolak pindah,
mereka akan dipenjara selama sebulan.
“Mereka datang mengabarkan
ketika benih terlanjur ditanam. Kami berhutang untuk menanamnya. Kami sedih dan
cemas. Bagaimana bisa membayar utang jika kami digusur dari sini? Tidak mungkin
kami membeli tanah lain tanpa uang. Kami saja kesulitan untuk sekedar bertahan
dengan keuntungan dari panen kami. Jika kami mesti pergi ke tempat lain, saya
tak tahu, apakah mungkin kami terus bertani. ”
Puluhan ribu orang dari lebih 30
desa dipaksa pergi untuk membuka proyek Kawasan Ekonomi Khusus Thilawa. Proyek
ini luasnya mencapai 2.400 hektar.
Kawasan ini akan mencakup
pelabuhan dan kawasan industri. Proyek ini rencananya rampung dan siap
beroperasi pada 2015. Kawasan ini diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja
bagi penduduk setempat dan mendongkrak ekonomi.
Tapi U Myint Kyi tak punya
keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan baru itu.
“Saya tak tahu bagaimana
menyetir. Tak ada yang mau mempekerjakan saya sebagai satpam jika saya mencari
kerja. Tak ada yang mau mempekerjakan saya. Saya tak tahu harus mulai dari
mana. ”
Pemimpin komunitas setempat U Mya Naing mengatakan, mereka
berhak tinggal di tanah nenek moyang mereka.
“Kami membayar pajak pada
pemerintah karena tanah ini. Menurut konstitusi, pemerintah tidak berhak
memaksa penduduk desa pergi dari tanah mereka.”
Negara-negara asing berlomba-lomba
menanam modal setelah reformasi terjadi di Burma.
Sayangnya ini berdampak pada maraknya perampasan lahan. Petani
dan warga desa digusur demi proyek-proyek pemerintah. Di lain sisi, hukum yang
ada tidak jelas mengatur siapa pemilik lahan. Artinya, secara resmi
pemerintahlah pemilik semua tanah di Burma.
Tin Win Aung mengatakan,
pemerintah menggusur pria berumur 32 tahun ini dari tanahnya untuk sebuah
proyek industri.
" Saya datang dan membeli
sepotong tanah di sini ketika pemerintah menggusur tanah kami di Thuwanna. Kami
keluarga besar. Semua anggota keluarga menggantungkan hidup pada pertanian.
Ayah saya juga ditangkap dan disiksa karena dituding bukan petani patriotik.
Kami dipaksa tanda tangan dan meninggalkan tanah kami di sana. Pemerintah
membayar 19 ribu rupiah sebagai ganti tanah kami. Semetara, harganya puluhan
milyar rupiah menurut harga pasar. Sementara, kami mesti menerima untuk
menghindari masalah.”
Begitu rampung, proyek industri Thilawa
akan menjadi kawasan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Jepang menyokong proyek
ini dengan berjanji menghapus separuh utang Burma. Juga menawarkan miliaran
rupiah dalam bentuk kredit lunak. Ini adalah utang baru dari Jepang dalam tiga
dekade terakhir.
Baru-baru ini, sekelompok orang
dari Kamar Dagang Burma dan perusahaan jepang mengunjungi penduduk desa untuk
berunding.
“Dua tahun lalu ketika menteri
datang merundingkan kawasan ini, masih ada sejumlah orang tidak punya dokumen
bukti kepemilikan tanah. Kami mengumpulkan informasi dan menyesuaikannya dengan
hukum kita. Zona Ekonomi Khusus ini tentu akan mendongkrak ekonomi kita. Kami
akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak menghancurkan hidup orang-orang di
sini,” tutur Wakil Menteri Kamar Dagang Burma, U Sat Aung.
Tapi kata dia, ada warga yang
bukan berasal dari kawasan ini. Dia pun tak menjanjikan ganti rugi apa pun.
U Kuma, 49, mengatakan, ia bakal
bertahan di desanya. “Kami tidak akan pergi. Ini tanah nenek moyang kami. Dulu,
kami kehilangan tanah untuk proyek lainnya. Cukup sudah pengorbanan kami. Kami
hidup di sini. Kami bahkan membayar pajak pemerintah untuk tanah kami.”
Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB
No comments:
Post a Comment