Sunday, March 17, 2013

Pembangunan Zona Ekonomi Burma Gusur Ribuan Penduduk


Pembangunan Zona Ekonomi Burma Gusur Ribuan Penduduk
Mg Myo
Asia Calling/ Thilawa, Burma
3/5/2013

Lebih dari 30 ribu orang akan digusur paksa demi pembangunan Zona Ekonomi Khusus Thilawa.
Zona ini merupakan proyek gabungan antara Kamar Dagang Burma dan Organisasi Perdagangan Jepang.
Para penduduk mengklaim, mereka belum menerima ganti rugi yang adil. Namun, pemegang kewenangan mengatakan, mereka akan memenjarakan warga jika menolak pergi.
U Myint Kyi, 54, petani kol di desa Payar Gone ini dipaksa meninggalkan lahan pertaniannya.
 “Saya sedih dan tidak dapat tidur. Saya diberitahu tentang pemindahan itu. Saya tidak tahu mesti ke mana. ”
Bertani adalah satu-satunya pemasukan baginya. Ia memperoleh 900an ribu rupiah setiap bulannya. Tidak ada pengumuman resmi soal ganti rugi. Namun jika penduduk desa menolak pindah, mereka akan dipenjara selama sebulan.
                  “Mereka datang mengabarkan ketika benih terlanjur ditanam. Kami berhutang untuk menanamnya. Kami sedih dan cemas. Bagaimana bisa membayar utang jika kami digusur dari sini? Tidak mungkin kami membeli tanah lain tanpa uang. Kami saja kesulitan untuk sekedar bertahan dengan keuntungan dari panen kami. Jika kami mesti pergi ke tempat lain, saya tak tahu, apakah mungkin kami terus bertani.  ”
Puluhan ribu orang dari lebih 30 desa dipaksa pergi untuk membuka proyek Kawasan Ekonomi Khusus Thilawa. Proyek ini luasnya mencapai 2.400 hektar.
Kawasan ini akan mencakup pelabuhan dan kawasan industri. Proyek ini rencananya rampung dan siap beroperasi pada 2015. Kawasan ini diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja bagi penduduk setempat dan mendongkrak ekonomi.
Tapi U Myint Kyi tak punya keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan baru itu.
“Saya tak tahu bagaimana menyetir. Tak ada yang mau mempekerjakan saya sebagai satpam jika saya mencari kerja. Tak ada yang mau mempekerjakan saya. Saya tak tahu harus mulai dari mana. ”

Pemimpin komunitas setempat U Mya Naing mengatakan, mereka berhak tinggal di tanah nenek moyang mereka.
“Kami membayar pajak pada pemerintah karena tanah ini. Menurut konstitusi, pemerintah tidak berhak memaksa penduduk desa pergi dari tanah mereka.”
Negara-negara asing berlomba-lomba menanam modal setelah reformasi terjadi di Burma.
Sayangnya ini berdampak pada maraknya perampasan lahan. Petani dan warga desa digusur demi proyek-proyek pemerintah. Di lain sisi, hukum yang ada tidak jelas mengatur siapa pemilik lahan. Artinya, secara resmi pemerintahlah pemilik semua tanah di Burma.
Tin Win Aung mengatakan, pemerintah menggusur pria berumur 32 tahun ini dari tanahnya untuk sebuah proyek industri.
" Saya datang dan membeli sepotong tanah di sini ketika pemerintah menggusur tanah kami di Thuwanna. Kami keluarga besar. Semua anggota keluarga menggantungkan hidup pada pertanian. Ayah saya juga ditangkap dan disiksa karena dituding bukan petani patriotik. Kami dipaksa tanda tangan dan meninggalkan tanah kami di sana. Pemerintah membayar 19 ribu rupiah sebagai ganti tanah kami. Semetara, harganya puluhan milyar rupiah menurut harga pasar. Sementara, kami mesti menerima untuk menghindari masalah.”   
Begitu rampung, proyek industri Thilawa akan menjadi kawasan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Jepang menyokong proyek ini dengan berjanji menghapus separuh utang Burma. Juga menawarkan miliaran rupiah dalam bentuk kredit lunak. Ini adalah utang baru dari Jepang dalam tiga dekade terakhir.   
Baru-baru ini, sekelompok orang dari Kamar Dagang Burma dan perusahaan jepang mengunjungi penduduk desa untuk berunding.
“Dua tahun lalu ketika menteri datang merundingkan kawasan ini, masih ada sejumlah orang tidak punya dokumen bukti kepemilikan tanah. Kami mengumpulkan informasi dan menyesuaikannya dengan hukum kita. Zona Ekonomi Khusus ini tentu akan mendongkrak ekonomi kita. Kami akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak menghancurkan hidup orang-orang di sini,” tutur Wakil Menteri Kamar Dagang Burma, U Sat Aung.
Tapi kata dia, ada warga yang bukan berasal dari kawasan ini. Dia pun tak menjanjikan ganti rugi apa pun.
U Kuma, 49, mengatakan, ia bakal bertahan di desanya. “Kami tidak akan pergi. Ini tanah nenek moyang kami. Dulu, kami kehilangan tanah untuk proyek lainnya. Cukup sudah pengorbanan kami. Kami hidup di sini. Kami bahkan membayar pajak pemerintah untuk tanah kami.”

Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB

No comments:

Post a Comment