Thursday, April 26, 2012

Sterilisasi Paksa Warga Miskin India


Sterilisasi Paksa Warga Miskin India
Shuriah Niazi (Asia Calling/ Madhya Pradesh, India)

Ram Adivasi, 16 tahun, berasal dari distrik Rewa. Ia masuk rumah sakit karena demam. Ketika ia minta obat, ia malah disterilisasi.
 “Saya diberi tahu kalau saya tidak bisa mendapatkan obat tanpa disterilisasi. Dan mereka melakukan operasi kepada saya. Saya bilang sama mereka, saya belum menikah. Tapi mereka bilang, mereka hanya mengikuti perintah atasan,” ujar Ram.
            Seorang perempuan dari distrik yang sama juga disterilisasi. Ia diiming-imingi alat penanak nasi, televisi dan kulkas, meski tidak ada listrik di rumahnya. Tapi hingga sekarang, ia belum juga mendapatkan satu pun barang-barang itu.
            Sementara di distrik lainnya, Rajesh Yadav menyetujui vasektomi setelah dijanjikan vaksin bebas rabies untuk anak laki-lakinya.
             “Saya buruh miskin. Pendapatan saya sekitar 18 ribu rupiah sehari. Bagaimana mungkin saya bisa bayar 180 ribu rupiah lebih untuk vaksin? Saya tidak punya pilihan lain kecuali menandatangani izin sterilisasi untuk menyelamatkan anak saya.”
            Sterilisasi paksa bukan hal baru di India. Warga di negara bagian Madya Pradesh menuding pemerintah memaksa mereka untuk melakukan sterilisasi. Negara bagian ini memiliki salah satu tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi di India.
Target program Keluarga Berencana nasional adalah dua anak per pasangan – tapi di sini, tingkat kelahiran mencapai dua kali lipat. Dua tahun lalu, negara bagian itu meluncurkan program keluarga berencana dengan sasaran ambisius sebanyak 700 ribu disterilisasi.
            Untuk mencapainya, para petugas lapangan melewati batas-batas etika – orang-orang miskin, manula dan bahkan pasangan yang belum menikah ditipu, dan dipaksa sterilisasi.
            Pada pertengahan tahun 1970-an, Perdana Menteri Indira Gandhi meluncurkan program sterilisasi paksa untuk menurunkan tingkat kelahiran – tapi program itu gagal total.
            Dalam program yang lebih baru di tahun 2008, distrik Shivpuri di negara bagian Madhya Pradesh memperkenalkan satu skema berjudul “guns for vasectomy“  – barang siapa yang mau divasektomi akan mendapatkan pistol.
Lebih dari seratus lelaki mendaftar untuk operasi ini dengan janji mendapatkan izin kepemilikan pistol secara gratis. Tapi banyak yang mengeluh izin itu tidak pernah dikeluarkan.
            Dalam  program berencana yang dijalankan negara sekarang ini – yang berakhir pada bulan lalu – program utamanya adalah sterilisasi.
            Kenaikan pangkat lima petugas kesehatann di distrik Khandwa dibatalkan karena jumlah sterilisasi yang mereka berhasil lakukan sangat sedikit. Petugas senior juga mengintimidasi bawahannya yang tidak berhasil mencapai target sterilisasi.
            Tapi kepala menteri Madyha Pradesh bernama Shivrah Singh Chouhan  menyangkal ada penetapan target sterilisasi yang wajib dicapai. 
             “Saya tidak setuju dengan konsep sterilisasi paksa. Tidak ada pemaksaan untuk memenuhi target vasektomi. Para pegawai semestinya tidak menyebarkan pemberitahuan untuk memenuhi target mereka.”
            Meski menyangkal, Chouhan dikenal sebagai pengagum program sterilisasi paksa Ghandi yang dijalankan pada tahun 1970-an. Ia berpendapat, pertumbuhan ekonomi bisa dicapai melalui pengendalian penduduk.
            Pada Februari lalu, Menteri Kesehatan berjanji akan melakukan investigasi soal berbagai kasus sterilisasi paksa.
            Ramchandra Namdeo , 70 tahun, sudah melaporkan keluhannya, tapi sampai sekarang belum mendapat tanggapan apa pun.
            Seorang petugas desa setempat mengatakan kepada dia, namanya bakal dicoret dari daftar orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, jika menolak vasektomi. Ini berarti, dia akan kehilangan akses perawatan kesehatan gratis dan pembagian makanan setiap bulan.
             “Saya tidak punya pilihan kecuali disteril. Sekarang saya sudah menyampaikan keluhan saya kepada petugas distrik. Dia sudah berjanji untuk bertindak. Menurut saya pemerintah setempat tidak boleh menggunakan taktik seperti itu kepada orang-orang miskin seperti saya,” kata Ramchandra.

Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB


No comments:

Post a Comment