Sunday, September 23, 2012

Upaya Menyelamatkan Bahasa Kusunda Di Nepal

Upaya Menyelamatkan Bahasa Kusunda Di Nepal

Felix Gaedtke and Gayatri Parameswaran
Asia Calling/Dang, Nepal

Gyani Maiya Sen, 75 tahun, satu-satunya orang yang bisa bicara bahasa Kusunda di Nepal.
Para ahli linguistik  bergegas merekam suara Sen dan untuk pertama kalinnya membuat kamus bahasa Kusunda yang unik.
Kusunda adalah bahasa suku dari bagian barat Nepal. Biro Pusat Statistik menyatakan hanya ada 100 orang suku Kusunda yang tersisa. 
Gyani Maiya tinggal di desa kecil Kulmohar di distrik Dang. Desa ini dekat dengan satu sungai yang dikelilingi dengan beberapa rumah. Sehari-hari ia bekerja di sawah, merawat cucu-cucunya dan menghabiskan waktunya di hutan. Tapi tidak ada yang memahami ucapannya.
 “Hanya ada beberapa orang suku Kusunda yang tinggal di sini. Tapi tidak ada yang bisa bahasa ini.  Generasi bagu tidak mau menggunakannya. Mereka tidak tertarik. Mereka mengolok-olok bahasa itu, dan bilang bahasa itu tidak masuk akal!”
Bahasa ini mencerminkan karakteristik lingkungan sekitar kehidupan suku Kusunda.Contohnya, mereka tidak punya kata untuk kata ‘hijau’, karena menurut mereka warna hijau adalah warna dasar.
Gyani Maiya lagi di hutan memotong kayu dan mengumpulkan jamur untuk makan siang. Kini ia tiggal di desa, tapi merasa lebih nyaman di hutan.
“Waktu kami tinggal di h utan, kami biasanya berkumpul bersama di dalam gua-gua. Saya suka sekali. Waktu kami pertama kali masuk ke desa, saya sedih meninggalkan hutan.  Awalnya sulit sekali.  Kami  mengalami banyak masalah. Kami kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan baru di sini.”
Gyani Maiya dan keluarganya harus meninggalkan hutan karena rumah mereka kini rusak akibat penebangan hutan. Kini sebagian orang dari suku itu masih tinggal di sekitar Desa Kulmohar.
Bahkan anaknya laki-lakinya, Prem Bahadur, tidak bisa menggunakan bahasa itu sama sekali.
“Apa gunanya balajar bahasa ini? Kalau saya tinggalkan semuanya dan mulai belajar bahasa ini, apa yang saya akan makan dan minum? Kalau saya tidak bertani, saya tidak punya pekerjaan, saya tidak punya uang,” ujar Bahadur
“Jadi di mana saya harus belajar bahasa itu sekarang?  Kalau saya mau belajar bahasa itu, saya harus ikut kursus. Kalau saya mulai ikut kelas, siapa yang kasih makan anak-anak saya?  Itu sebabnya saya belum belajar bahasa itu.”
Ia menambahkan, masih ada stigma terhadap orang Kusunda  – dan ini menghambat dia belajar bahasa itu.
“Mereka memandang orang Kusuda sebagai  orang yang tidak beradab. Orang liar yang hidup di hutan rimba. Sekarang masyarakat sudah berpendikan. Tapi sebelumnya mereka menjelek-jelekan orang Kusunda. Ibu saya pun didiskriminasi. Dia marah sekali waktu itu.” 
Tapi Profesor Madhav Prasad Pokharel merasakan betapa  pentingnya menyelamatkan bahasa itu. Ia dosen jurusan linguistik yang sudah pensiun di Universitas Tribhuvan,  di Kathmandu. Ia sudah membuat penelitian bahasa Kusunda selama dua tahun.
“Bahasa Kusunda adalah bahasa yang menarik. Menarik karena ini masalah bahasa yang terisolasi yang berarti tidak ada terkait dengan bahasa  mananpun di dunia. Dan semua bahasa dianalisis bisa diturunkan hingga mencapai 20 tingkat. Tapi bahasa Kusunda berada pada tingkat ke-21, yang berarti bahasa ini adalah bahasa terisolasi. Bahasa yang tidak berhubungan dengan bahasa lainnya.”
Ketika satu bahasa hilang, budayanya juga akan lenyap, kata Profesor Pokharel. Ia juga mengatkan betapa pentingnya memulihkan budaya Kusunda.
“Dari segi antropologi suku Kusunda  itu menarik.  Mereka orang nomaden, jago sekali memanah.  Mereka biasanya memburu kadal tanah. Tidak ada warga  lainnya di Asia Selatan yang dikabarkan makan kadal tanah! Mereka tidak minum air sungai,  mereka harus mencari sumur. Mereka tidak mau menyentuh sapi. Mereka tinggal di hutan. Sekarang karena semua ini, deforestasi dan hal-hal lainnya, tempat tinggal mereka terancam.” 
Para ahli linguistik dan juru kampanye kesukuan kini menuntut pemerintah untuk memperkenalkan program khusus untuk mengangkat suku Kusunda dan melindungi bahasa itu. Saat ini, Profesor Pokharel memimpin sekelompok peneliti untuk melestarikan bahasa itu.
“Ketika bahasa itu semakin mati, awalnya warisan manusia hilang, karena setiap bahasa menghasilkan satu budaya tertentu. Jadi kalau satu bahasa mati, begitu juga dengan budayanya,” tutur Pokharel.
“Itulah salah satunya. Hal lainnya adalah setiap bahasa punya cara pandangnya terhadap dunia, yang kita tidak bisa mengerti.  Begitu juga dengan bahasa. Tanpa bahasa tidak mudah memberikan identitas satu kelompok etnis.”
Gyani Maiyia berbicara di depan alat perekam. Para peneliti sudah merekam cara dia berbicara selama tiga bulan lebih. Mereka sedang menyusun kamus Kusunda berdasarkan rekaman mereka –  dan kini sudah ada hampir seribu kata di sana.
Cucu perempuan Gyani Maiya kini bisa menyebutkan bagian-bagian wajah dalam bahasa Kusunda. Ia bahkan mengajak orang kembali lagi untuk belajar bahasa itu.

Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling diwww.asiacalling.org. dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB

3 comments: