Sunday, November 30, 2014

Jazz Goes To Campus 37th


THE 37th JAZZ GOES TO CAMPUS
FESTIVAL

Sejak digelar pertama kalinya, lahir dari ide Chandra Darusman dan teman-teman, Jazz Goes To Campus telah berhasil mengejar tujuannya: menyebar dan merayakan cinta pada musik jazz. Apa yang dimulai sebagai sebuah niat sederhana yaitu menyuarakan semangat muda melalui musik, kini telah berubah menjadi tidak hanya festival jazz tertua, tapi juga salah satu Festival Jazz paling terkenal di Indonesia, dan di dunia yang dilaksanakan oleh mahasiswa.
Tagline yang diangkat di tahun ini adalah “The Ultimate Jazzperience” yang mewakili semangat The 37th Jazz Goes To Campus. Berkaca dari beberapa tahun terakhir, The 37th Jazz Goes to Campus ingin memberikan sebuah pengalaman indah melalui kepuasan mutlak yang dapat menjadi benchmark bagi pelaksanaan Jazz Goes to Campus seterusnya.

Sejalan dengan semangat tersebut, The 37th Jazz Goes To Campus Festival dirancang tidak hanya untuk merayakan jazz dengan menampilkan musisi Jazz kawakan, namun juga memberikan platform bagi musisi - musisi Jazz muda dan ‘baru’ untuk memperkenalkan ekspresi Jazz nya kepada penonton penikmat jazz dan memulai langkah mereka masuk ke Industri Musik Jazz Indonesia.

Ciri khas The 37th Jazz Goes to Campus kali ini, adanya JGTC Project Tribute to Salemba. Melalui kolaborasi antara musisi-musisi jazz senior JGTC yang telah berkontribusi dalam membangun kemajuan industri music jazz di Indonesia hingga menjadi seperti sekarang. Mereka yang tergabung dalam project ini adalah xxxxxxxxxx, dimana salah satu dari mereka yaitu Candra Darusman merupakan pendiri Jazz Goes to Campus.

Masih bertempat di pelataran parkir Kampus FEUI, Depok, puncak acara Jazz Goes To Campus kembali digelar pada tanggal 30 November 2014 dengan teagline THE ULTIMATE JAZZPERIENCE Dengan harga tiket on the spot yang sangat terjangkau,yaitu Rp68.000 JGTC Festival tahun ini dihadiri oleh 15.000 penonton yang sangat antusias ingin melihat artist favorit mereka. Terdapat 4 stage yaitu Jazzperience stage, IM3 stage, Jansport stage dan Nescafe Music Asik stage. Tidak hanya dar artis lokal, The 37th Jazz Goes To Campus juga berhasil membawa beberapa nama artist internasional seperti Sondre Lerche dan Ray Harris and The Fusion Experience.

Begitu memasuki area venue, penonton akan bertemu dengan Jazzperience Stage. Di Stage ini menampilkan 9 performances JGTC seperti Sekawan n Friends, Fusion Jazz Community, Eros Tjokro, JGTC Winner 3, Kunto Aji, Like Father Like Son, Oele Pattiselano ft Monita Tahalea, Ray Harris and The Fusion Experience dan ditutup oleh The Groove. Menjadi warna tersendiri dari stage ini adalah project yang ditampilkan oleh BLP bersama bubugiri dengan menampilkan karya-karya dari seorang legenda Jazz Miles Davis. Sehingga penampilan tersebut benar-benar membawa penonton ke era Jazz Rock Miles Davis.

Tidak jauh dari Jazzperience Stage, yaitu area Selasar FEUI, penonton akan bertemu Nescafe Musik Asik Stage. Di Stage ini ditampilkan 10 performances, diantaranya adalahNado Project ft DJ Reza Ecilo, Job n Duties, Alboni Quartet, Soundscapes, BSO Band Jazz Project, Yemima Hutapea, Glanze, Bakutindis,  Bonita and The Hus Band dan Adhitia Sofyan. Suasana stage yang intim dan dihiasi dengan tata cahaya yang dinamis membuat Nescafe Musik Asik Stage tempat yang tepat untuk penonton yang mencari suasana lebih private di Jazz Goes To Campus ini sambil menikmati musik yang tak kalah indah.

IM3 Stage adalah Stage yang menampilkan 8 performances, diantaranya JBF Trio, SevenStrings, JGTC Winner 2, HajarBleh Big Band, Teza Sumendra, Idang Rasjidi Syndicate, ESQI:EF – Syaharani and Queenfireworks, Tjuk Nyak Deviana&Friends, dan ditutup oleh penampilan dari Tulus yang sangat menyedot keramaiaan penonton pada IM3 stage. Teriakan dan nyanyian penonton menggambarkan semangat penikmat musik jazz di Jazz Goes To Campus tahun ini.

Jansport Stage adalah stage yang dikatakan sebagai main stage di Jazz Goess To Campus ke-37 ini , hal ini dilihat dari segi size danornamen, dan penampil. Jansport Stage adalah Stage yang menampilkan 8 performances, diantaranya RnF, JGTC Winner 1, RAN, Balawan Trio, Monita Tahalea & The Nightingales, Bandanaira, JGTC Project Tribute to Salemba, Sondre Lerche dan ditutup oleh Glenn Fredly yang berhasil mengambil hati penonton yang sekaligus mengakhiri rangkaian acara The 37th Jazz Goes To Campus.

Tidak hanya 4 panggung, The 37th Jazz Goes To Campus Festival juga menghadirkan Jazz Museum yang akan menceritakan perjalanan panjang sejarah musik jazz, jazz di Indonesia, dan tentunya sejarah Jazz Goes To Campus itu sendiri. Lokasi dari Jazz Museum berada setelah pintu masuk area festival.

Perkembangan musik jazz di Indonesia tak akan sesukses sekarang ini tanpa dukungan dari berbagai pihak. Dukungan dari banyak insan jazz Indonesia tersebut juga dirasakan oleh Jazz Goes To Campus selama ini, oleh karena itu pada tahun 2007 diadakanlah JGTC Choice Awards untuk pertama kalinya dalam rangka memberikan penghargaan setinggi-tingginya bagi para insan jazz tanah air yang telah berkontribusi dalam perkembangan JGTC pada khususnya dan perkembangan jazz di Indonesia pada umumnya. JGTC Choice Awards pun kembali memberikan penghargaan dan apresiasi yang setinggi-tingginya bagi para insane Jazz yang terpilih kedalam beberapa kategori, diantaranya New comer Artist, Most Dedicated, Young Talent, Album Choice dan Lifetime Achievement. Untuk penganugerahan JGTC Choice Awards tahun ini diberikan sebelum memulai Press Conference Jazz Goes To Campus Festival.

Para penonton berhasil mendapatkan The Ultimate Jazzperience dengan didukung oleh cuaca yang cerah, venue yang lebih luas dan suasana yang lebih nyaman.

Akhir kata, semoga perjalanan panjang Jazz Goes To Campus selama ini dapat memberikan kontribusi berarti atas perkembangan dunia jazz di Indonesia, dan yang jelas tidak akan berhenti sampai di sini. Semoga nama harum Jazz Goes To Campus tetap ada sampai kapan pun demi kekalnya dunia jazz Indonesia. Long live Jazz Goes To Campus!

“The 37th Jazz Goes To Campus, The Ultimate Jazzperience!”






Friday, October 18, 2013

Demi Langsing, Orang India Pilih Operasi

Demi Langsing, Orang India Pilih Operasi

Jasvinder Sehgal
Asia Calling/Jaipur India
01/10/2013


Chander Kataria, 56 tahun, dan Mohan Gulati, 65 tahun berjalan pagi keliling Taman Bhagat Singh di Jaipur.
Chander beratnya 85 kilogram, sementara Mohan 120 kilogram.  Keduanya sangat ingin kurus.
“Saya sudah olahraga, menggerakkan dan menggetarkan seluruh tubuh saya, tapi tetap saja gagal,” ujar Chander.
Pria ini telah mencoba aneka cara untuk menurunkan berat badan, termasuk diet. Dia juga olahraga di pusat kebugaran
                  “Ini putaran ke-8 saya naik sepeda. Saya sudah berbuat banyak tapi tidak ada yang berhasil. Saya kira pilihan terakhir adalah operasi.”
Rana Kumar, pelatih olahraganya, mengatakan Chander adalah klien yang banyak ditemui sekarang.
“Penyebabnya adalah gaya hidup yang tidak sehat. Duduk sepanjang hari dan tidak olahraga, lalu makan junk food. Kami minta mereka untuk olahraga dan mengatur makanan mereka. Jika itu tidak berhasil, kami menyarankan untuk operasi.”
India kini dikenal sebagai salah satu pusat pelangsingan tubuh dunia.
Dua pertiga dari orang kaya India yang tinggal di kota kini mengalami kelebihan berat badan, mereka memilih untuk dioperasi.
Obesitas pun makin banyak ditemui pada anak sekolah di kota.
Bisnis pelangsingan tubuh sangat menggiurkan, kata Dr Akhilesh Sharma dari Pusat Bedah Kosmetik Abhishek.
“Saya mengerjakan operasi penghilangan lemak tubuh 1 sampai 2 kali setiap minggu. Pasien saya berasal dari berbagai kalangan.”
Untuk operasi ini, orang mesti merogoh kocek lebih dari 10 juta rupiah.  Diperkirakan 10 ribu operasi serupa akan dilakukan tiap tahun di seluruh India.
Dan ini adalah negara yang sama yang dikenal dengan nama “ibukota kelaparan di dunia”. Seperempat dari total populasi India tak bisa makanan.
Shyamvati Devi mengirim anak-anaknya sekolah bukan demi pendidikan mereka, tapi demi mendapatkan makan gratis sekali sehari.
“ Anak-anak suka makanan gratis di sekolah. Saya punya 4 anak, tapi hanya 2 anak yang ada sama saya. Saya sangat miskin. Saya kehilangan suami saya dan saya tak punya pekerjaan. Dua lainnya tinggal di rumah kerabat karena saya tak sanggup memberi makan mereka.”
Di kota yang sama, Chander dan orang-orang kota lainnya justru tengah ketagihan makanan cepat saji.
Pertumbuhan ekonomi India juga membuka pintu bagi waralaba makanan internasional. Ini ikut mengubah pola makan masyarakat urban India.
Saudara perempuan Chander, Preeti Gupta, 43 tahun, mengaku berencana operasi pelangsingan tubuh.
“Saya ingin mengurangi berat badan supaya sehat. Saya tidak mau mengalami sakit lutut atau mengobati rasa sakit di usia seperti sekarang. Karena itu saya ingin langsing.”

(**)
Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program berita radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.portalkbr.com/asiacalling dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB

Friday, September 13, 2013

Sepeda Bambu Ramah Lingkungan Ala Filipina


Sepeda Bambu Ramah Lingkungan Ala Filipina


Jason StrotherAsia Calling/Victoria, Propinsi Tarlac, Filipina


Dapatkah sepeda ramah lingkungan membantu Filipina mengurangi masalah kemiskinan? Ya, kata seorang wirausahawan lokal. Ia memproduksi sepeda dari bambu lokal.
Bryan Benitez McClelland sangat mencintai sepeda. Saat meninggalkan apartemennya di Makati, dia mengambil sepedanya yang ada di garasi.
Sepeda ini tak seperti sepeda lainnya. Sepeda ini terbuat dari bambu dan ramah lingkungan, kata McClelland.
            “Bambu merupakan tanaman yang luar biasa. Dalam dunia flora, bambu merupakan tanaman yang pertumbuhannya sangat cepat dan menyerap karbon dioksida dalam jumlah yang sangat besar. Ini berarti bambu dapat dijadikan sumber energi terbarukan. Selain itu dari segi kualitas, bambu mempunyai kelebihan tersendiri. Sepeda bambu benar-benar nyaman untuk dikendarai.”
            Pada 2010, McClelland mendirikan Bambike, produsen sepeda dari bambu. Sampai saat ini dia sudah berhasil menjual 100 sepeda bambu.
            “Di sinilah pabrik pembuatan Bambikes. Kami sedang mengerjakan model-model baru dan produk yang sudah selesai ini siap dijual. Setiap model memiliki kelebihannya masing-masing. Untuk dalam kota, saya menggunakan sepeda jalan raya dengan kecepatan tunggal. Sepeda itu memang dikhususkan untuk menghadapi jalan beraspal di perkotaan.”
Pabrik Bambike terletak di pedesaan, tepatnya di pinggiran kota Victoria, provinsi Tarlac, 130 kilometer dari Metro Manila.
Bambu-bambu diambil langsung dari perkebunan bambu... lantas disulap oleh para pekerja Bambikes menjadi sebuah rangka sepeda. Harga sebuah sepeda bambu berkisar sekitar Rp 13 juta rupiah. Tidak murah, tapi kata McClelland, keuntungan dari penjualan sepeda bambu dipakai untuk membantu komunitas marjinal.
“Kami memproduksi sepeda bambu dengan kualitas dunia untuk pangsa pasar internasional dengan mengandalkan tenaga kerja lokal sehingga para pekerja masih bisa bekerja tanpa meninggalkan keluarga mereka.”
            Salah satu pekerja pabrik sepeda bambu Bambike adalah laki-laki berumur 46 tahun, Remigio Manaloto Jr.
“Saya merasa bersyukur bisa bekerja di Bambike. Kami tidak perlu pergi jauh-jauh dari rumah. Ketika saya bekerja di konstruksi, saya selalu menghabiskan hari-hari saya di bawah terik matahari. Saya sangat berterimakasih pabrik Bambikes ada di sini.”
Pemerintah setempat mengatakan tidak mudah bagi penduduk Victoria untuk menemukan pekerjaan tetap. 60 ribu penduduk di kotamadya ini kebanyakan bekerja sebagai petani yang tidak bekerja penuh selama setahun.
            Candido Guiam, walikota Victoria, mengatakan, seperti kebanyakan desa lainnya di Filipina, kemiskinan adalah masalah utama di daerahnya.
            Petani hanya bekerja empat bulan dalam setahun dan selama delapan bulan mereka menganggur. Itulah sebabnya siklus kemiskinan tidak pernah putus.”
Walikota Guiam dan Bryan Benitez McClelland melihat kerjasama mereka bisa membawa manfaat bagi penduduk sekitar. Beberapa petani Victoria bahkan sudah menanam bibit-bibit bambu.
Guiam menambahkan, dalam jangka panjang bambu sebagai sumber energi terbarukan bisa berguna bagi penduduk.
  “Kami menyediakan alternatif lain bagi para penduduk untuk menghasilkan uang yaitu dengan menanam bambu di halaman belakang rumah mereka. Dengan begitu mereka bisa menghasilkan bambu sendiri dan kami akan membayar sekitar hampir 4 ribu rupiah per batang. Nilai itu sangat memadai. Semoga dalam tiga tahun ke depan, mereka dapat menikmati hasilnya.”
Setelah meninggalkan kantor walikota, McClelland ke gudang bibit bambu. Rencananya, bibit ini akan dibagikan pemerintah kepada warga setempat.
 “Jenis bambu ini umurnya sekitar satu tahun. Jadi setelah ditanam setelah satu setengah atau dua tahun baru bisa digunakan. Tak diragukan lagi, bambu adalah material paling ramah lingkungan di dunia dan kuat seperti baja. Selain itu sangat tahan lama, kokoh dan material yang tepat untuk bingkai sepeda.”

McClellang menambahkan selain dapat dijadikan bingkai sepeda, bambu bisa digunakan untuk hal lain. Dia berharap Bambike menjadi awal revolusi bambu di Filipina.

(**)

Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program berita radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.portalkbr.com/asiacalling dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB

Tuesday, July 23, 2013

Joki Anak di Pacuan Kuda


Joki Anak di Pacuan Kuda


 Rebecca Henschke
Asia Calling/Sumba, Nusa Tenggara Timur
15/07/2013

   Di sebuah daerah terpencil di Indonesia Timur, anak-anak berusia empat atau lima tahun bekerja sebagai joki anak profesional.
Sebuah acara pacuan kuda baru-baru ini diadakan di Pulau Sumba, yang terkenal dengan kudanya. Acara yang diadakan di timur pulau itu berlangsung selama 11 hari dengan sekitar 600 kuda. Dan semua penunggang kuda adalah anak-anak berusia di bawah 11 tahun.
Salah satunya, Ade, joki anak professional yang baru berusia 7 tahun. Tingginya hanya sepinggang orang dewasa. Saat ini ia memakai masker penutup wajah seperti ninja,  hanya terlihat  mata dan mulutnya  saja. Selain itu dia juga memakai helm kecil tapi bertelanjang kaki.  Matanya memar akibat jatuh dari kuda. Dia sudah menjadi joki sejak berusia 4 tahun.  
Ade tidak punya kuda sendiri. Jadi dia ada di sini berharap seseorang akan memperkerjakannya sebagai joki.
                  Seorang pria datang dan bertanya apakah Ade mau jadi jokinya. Laki-laki itu menarik tangannya dan mengatakan “Saya mau pakai dia” dan ayah Ade setuju.
                  Kuda-kuda di sini berukuran kecil, tingginya hanya sekitar 1,5 meter.
Tapi meski begitu, Ayah Ade tetap harus membantunya naik ke punggung kuda yang belum pernah ditungganginya itu.
 “Dari sejak umur empat tahun bisa kita pake. Kita latih dulu dari umur tiga setengah, jadi umur lima empat tahun sudah bisa dipakai. Sekarang sudah umur tujuh tahun sudah pintar dia,” ujar ayah Ade.
                  Dan pacuan pun dimulai. Orang-orang berlarian ke ujung lintasan ke garis finish.  Ade dibayar 50 ribu rupiah setiap kali ikut pacuan. Dan dia sudah menyelesaikan tiga putaran sekarang...
                  “Capek,” ujar Ade.
                  Ayahnya lalu menurunkan dia dan membawanya pergi.
                  “Kalau dia masih kuat dia naik terus lebih dari 10 kali. Kalau masih kuat ya naik terus, kalau tidak kuat ya minta istirahat,” kata sang ayah.
Ade dan kakaknya Enid, 9 tahun, adalah joki. Mereka adalah pencari nafkah bagi keluarga mereka, kata sang ibu. 
                  “Kalau kita bawa uang itu ada 15 juta ada 10 juta itu tergantung nanti...ya selama 7 hari,” kata ibu Ade.
“Ada sekolah. Dia minta ijin dulu karena ada bos di sini yang panggil dia sudah tahu dia naik kuda. Kalau gurunya bilang begini kenapa kamu boleh naik kuda terus terus kamu nda mau sekolah? Siapa yang kasih makan bapak dan ibu saya, siapa yang urus adik-adik saya, dia bilang begitu ke guru.” 
Di Indonesia, mempekerjakan anak di bawah usia 15 tahun itu melanggar hukum. Dan menurut Undang-undang, anak-anak mesti berusia 18 tahun untuk boleh melakukan pekerjaan yang berbahaya.
                  Tapi panitia acara Umbu Tamba mengatakan pacuan kudanya tidak melanggar hukum.
                  “Ya karena tradisi kan, adat. Hukum adatkan tetap ada dibandingkan hukum formal. Sebetulnya dari dulu saya juga bekas joki. Saya berulang kali jatuh dari kuda tapi tidak papa.”
                  Ada yang bilang, anak-anak dipaksa jadi joki, dan tidak baik kan memperlakukan anak seperti ini?
                  “Nda...itu hanya provokator saja, kali nga punya kuda, dia nga mengerti kuda. Tidak ada paksaan di sini, tidak ada. Dia tunggang kuda kan tidak gratis juga. Walaupun nga ada target, harus sekian nga, tapi kita kan punya rasa kasih. Ya kita hargai mereka punya jasa.”
Ini saatnya makan siang dan keluarga itu duduk di rerumputan di tengah lintasan. Pamannya ingin bicara soal taktik berkuda.
Tapi Ade tidak mendengarkan. Dia sibuk membual di depan segerombolan anak lelaki yang mengerumuninya, tentang berapa banyak balapan yang sudah ia menangkan. “Juara tiga sekali.... juara dua, dua kali...juara satu, dua kali...”
                  Ade mulai menarik ayahnya . Dia lapar, katanya. Ibunya bergegas menyiapkan makanan berupa daging sapi dengan kuah kacang, mie dan nasi.  Ade yang makan pertama, baru kemudian ayah dan ibunya menghabiskan sisanya.
 “Saya belikan, sapi saya belikan buat mereka rumah... takut saya kalau sudah besar takut mereka tanya, mana hasil saya cari. Saya takut begitu. Siapa tahu mereka mau sekolah...,” tutur sang ibu.
                  Ade harus melakukan pekerjaan lain saat usianya menginjak 15 tahun.
                  “Saya mau jadi tentara. Saya mau tembak...begini...trutt...,” ujar Ade.
Istirahat makan siang pun berakhir dan pacuan pun kembali digelar.  Sekarang Ade menunggang kuda baru... dan saat kuda itu melewati stadion, ia membelok dengan tajam dan meninggalkan lapangan menuju pintu gerbang ...


Pintu gerbang itu tertutup. Kuda mengangkat kepalanya dan Ade terlontar dari punggung kuda...
Ibunya bergegas lari ke arah Ade. Semula saya kira dia mencium kepala Ade.. tapi kemudian saya diberitahu kalau dia meniup roh jahat pergi ... Kaki Ade tampaknya terluka.
 “Nda...nga pernah bawa ke rumah sakit. Kalau kita ini kalau patah itu harus obat Bima. Kalau di rumah sakit, kalau dia tidak perbaiki ini kan langsung potong. Tapi kalau kita orang Bima tidak. Ada obat sendiri. Diurut dukun dulu,” kata ibu Ade.
                  Ade mencoba berdiri. Dia bisa berjalan. Kali ini kakinya hanya mengalami memar...
“Ya karena kita sudah biasa, sudah menjadi tradisi kita. Kita tidak merasa takut lagi... Kadang ada yang patah juga. Patah kaki kadang,” ujar ayah Ade.
 “Pernah dia patah. Yang besar itu juga pernah patah kiri kanan dia punya kaki. Tapi tidak ada rasa takutnya dia. Semakin merasa sakit, semakin berani dia karena sudah terbiasa,”
                  Sebenarnya pemerintah daerah sudah menaruh perhatian soal kondisi keamanan yang lebih baik bagi joki anak-anak ini.
 “Sekarang saya sudah minta panitia pengelolanya itu untuk memperhatikan aspek keselamatan mereka termasuk pembagian porsi untuk joki. Harus siapkan..,” tutur Gidion Mbilijora, Bupati Sumba Timur.
                  Bupati mengetahui menurut hukum, mempekerjakan anak di bawah usia 15 tahun itu melanggar hukum tapi di sini anak-anak yang baru berusia 4 atau 5 tahun sudah bekerja sebagai joki.
“Ya betul ada UU itu tapi ini terkait dengan budaya...budaya setempat sehingga pemerintah juga harus melihat ini sebagai bagian budaya masyarakat setempat.”
                  “Kalau dilarang saya sulit nanti...Saya yang susah...Saya akan diprotes warga saya... (tertawa)...karena hasil dari pacuan itu mereka memelihara ternak dan ketika masuk pacuan, harganya cukup tinggi.”
                  Kembali ke pacuan, pemilik kuda lain datang dan meminta Ade kembali berlomba. Tapi untuk kali pertama, dia menolak. Dia terlihat lelah dan memeluk pamannya.
                  “Sakit...cukup …,” ujar Ade.
                  Pacuan hari ini berakhir... Ade berlarian ke lintasan pacu yang kosong untuk menangkap jangkrik. Sementara joki anak yang lain menari-nari...
                  Kini mereka bebas menjadi anak-anak...paling tidak sampai besok.
(**)
 Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program berita radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.portalkbr.com/asiacalling dan dengarkan relay programnya di  BAFP RADIO STREAMING setiap Rabu jam 20.00 WIB dan Minggu jam 20.00 WIB